Kubaca ulang kiriman di tanggal itu.

Kata-kataku tumpah begitu mengguratkan emosi amarah dan kesedihan yang coba kutahan. Tampak, akulah korban. Saat itu. Waktu itu. Di masa itu. Seseorang seperti sudah mencipta goresan pada sebuah bahagia persahabatan. Jujur, diriku kecewa benar hari itu. Tidak percaya sungguh-sungguh.

Tapi, itulah kenyataan. Dan hari ini kiriman itu menamparku.

Bukan hari ini sebetulnya. Lebih tepatnya, tanggal 16 lalu, ketika terungkap apa yang selama ini kubiarkan lelap. Di sampingnya aku ingin menangis, berucap maaf bila mampu. Tapi tidak tersampaikan. Bodoh sekali aku! Kelewat ceroboh! Pribadi yang dulu padanya menumpuk segala emosi karena merasa dipojokkan oleh fitnah yang keliru, kini sepertinya dia yang terdzolimi olehku. Aku merana. Maafkan aku. Maafkan diriku. Aku tidak pernah mengukur bagaimana waktu bisa mengubah segala keputusan dan perasaan.

Gagap tentunya bila kusampaikan ini di depannya. Barakallahulaha, baginya. Semoga ada kesempatan di mana aku bisa menjelaskan segala kerancuan pada jalan yang sudah dilewatkan.

Yogyakarta, 1 Rabbiul Akhir 1439

Bunda Laila bilang, “Mulai lagi, dengan hati yang baru!” Semangat pagi!