Nyaris setahun lalu, aku sudah membayangkan supaya tahun ini jadi momen pertamaku memenuhi keinginan melancong ke daerah timur Indonesia. Agenda Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampus yang nama lengkapnya KKN PPM UGM umumnya diambil oleh teman-teman angkatanku di pertengahan tahun 2020.

Waktu itu—dan sampai saat ini sebenarnya, Sulawesi jadi pulau pertama di daerah timur Indonesia yang kuharap bisa terjelajahi. Alasannya sederhana, di sana ada taman Bunaken dan Wakatobi, surga laut yang dari dulu menggodaku untuk mengagumi kuasaNya. Selain itu, aku pernah mengidolakan Pak Jusuf Kalla yang kebetulan asli sana. Pak Habibie juga. Serta, ada seorang dosen yang diam-diam aku kagumi karena kami kebetulan punya nama yang mirip dan beliau kebetulan juga punya ketertarikan meneliti suku-suku di daerah Sulawesi. Lengkaplah sudah motivasiku untuk pergi ke sana.

Sayangnya, memang tidak semua keinginan bisa selalu terpenuhi. Rupanya, setelah ada beberapa sahabat yang berbaik hati mengajak berada dalam satu tim dan berjuang bareng untuk bisa mendapat lokasi di Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara, aku belum diizinkan oleh Yang Maha Memberi Izin untuk bisa pergi ke sana. Pada awal tahun kemarin, kami harus berbesar hati karena belum bisa mendapat slot sebagai tim yang didanai kampus untuk berangkat ke lokasi tersebut.

Sampai akhirnya, beberapa sahabat yang sudah banyak berpeluh pikiran dan tenaga untuk tim memutuskan supaya kami pindah ke Sumatra, di Bengkulu Selatan. Pertimbangannya tentu matang. Lokasi ini pasti akan didanai kampus. Cukup bisa membesarkan hati sebenarnya karena aku pribadi masih yakin dimanapun, ada banyak hal yang selalu bisa dinikmati dan dipelajari. Selain itu, aku masih bersama dengan beberapa teman yang dari awal berniat berada satu tim denganku. Walaupun satu dua akhirnya mundur. Gapapa, Hims, gapapa.

 

 

Kun fayakun! Pada tanggal 29 Juli lalu, aku dan teman-teman tim @ugmuntukseginim diterjunkan secara daring. Kegiatan penerjunan lewat Live YouTube yang diikuti oleh lebih dari empat ribu mahasiswa itu dihadiri oleh Mas Mendikbud Nadiem Makarim, Pak Ganjar Pranowo, dan sebagainya. Kami dilepas lewat sambutan rektor, Pak Panut Mulyono.

 

Lucu dan menggemaskan sih acaranya. Di saat yang harusnya berkesan khidmat itu, aku masih bisa sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Baca novel sambil mencicipi bakmi yang disediakan Ibu untuk makan siang. Semoga aku tidak dinilai menodai kekhidmatan itu ya, hihihi. Cuma jujur, emang kesan ketidak-khidmat-an acaranya juga dipantik adanya kebebasan berkomentar di Live Chat YouTube selama acara berlangsung. Temen-temen mahasiswa berlomba-lomba mengetik komentar-komentar pendek yang menggelitik, ngawur, dan membuat geleng-geleng kepala. Hohoho.

 

Sebuah pembukaan KKN yang woooow tidak kusangka. Menghibur sih. Terima kasih.

 

Tapi paling penting, gimanapun ada hal yang betul-betul aku syukuri untuk KKN yang aku jalani ini. Hehehe. Salah satunya, harus diakui, punya teman-teman satu tim yang mau bekerja sama, saling mendukung, dan mau belajar bareng ternyata merupakan hal mewah. Nyatanya, banyak keluhan dan sambatan teman-teman tim lain soal partner kerjanya yang ‘dibilang’ egoislah, cueklah, semaunya sendirilah, begitu lah, beginilah. Huehuee, doa dan peluk jauh untukmu sobat-sobitku yang sabar dan tangguh. Sedangkan, teman-teman di timku, walaupun memang tidak sempurna, tapi aku bersyukur sejauh ini kami masih semangat bekerja bersama.

 

Banyak dari mereka, aku belajar. Soal tanggungjawab, komitmen, pengorbanan, rasa pantang menyerah, rasa setia kawan, dan banyak lagi. Hueee. Malu sih ternyata aku belum berjalan sejauh itu. Tapi seneng, diingetin sama mereka. Doa dan pelukku juga untukmu sahabat semua!

 

Jangan nanya plis aku dimana, dah lenyap sebelum berfoto 🙁

 

Pun, yang terus menerus membikin aku tersenyum dan percaya diri adalah rasa antusias dan keterbukaan yang ditunjukkan oleh pihak desa. Timku diamanahi untuk mengabdi di Kecamatan Seginim, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu. Ada dua desa yang menjadi lokasi sasaran kami, yakni Desa Pajar Bulan dan Desa Muara Danau. Tim kami dibagi menjadi dua. Aku mendapat lokasi di Desa Pajar Bulan.

 

Baik di Pajar Bulan maupun Muara Danau, aku melihat kesungguhan yang mirip dari para pejabat desa. Saluuut kepada para pejabat desa yang luar biasa serius ingin mengembangkan daerahnya, membuka diri dengan orang-orang baru, yang meski terbatas komunikasinya tetep sabar dan mau berusaha. Alhamdulillah, untuk hal ini, aku nggak ada henti-hentinya bersyukur.

 

 

Saat pertemuan pertama kami, Pak Daus, Kepala Desa Pajar Bulan, bercerita cukup banyak mengenai kondisi desanya. Beliau menyampaikan harapan-harapan tentang KKN ini yang meskipun daring tapi semoga bisa membantu mengembangkan potensi warga Pajar Bulan. Di saat yang sama, aku merasa seperti diguyur air segar, beliau mengingatkan bahwa ini jangan sampai jadi beban buat teman-teman mahasiswa. Huehueee. Keterbukaan dan kepercayaan beliau kepada kami sungguh jadi sebuah energi untukku pribadi.

 

Aku seolah dilupakan tentang mimpiku KKN di Sulawesi. Aku seolah lupa dengan Bunaken, Wakatobi, dan pantai pasir putih yang kudoakan nyaris setahunan yang lalu. Aku seolah lupa bayangan bermain kecipak air di pantai, ketawa-ketiwi sama anak-anak yang baru kukenal, makan ikan tiap hari, bebas dari ponsel dan sinyal internet, hidup tanpa listrik, dan pengalaman seru yang udah terproyeksi di kepalaku. Aku lupa mimpi itu, walaupun nggak lupa-lupa amat (wakakak, tetep pengen coyyy).

 

Bagaimanapun, rasa syukur itu betul-betul membuat lega. Betul-betul membikin pandanganku terbuka. Aku merasa ada celah-celah untuk melakukan banyak hal selama KKN daring, berkreasi semampu dan sekreatif tim kami, berinteraksi dan saling memahami warga yang belum pernah kami temui. Pengalaman yang unik sekaliii. Ye nggak? Hihihi. Baru 10 hari, aku tidak tahu kejutan-kejutan apa lagi di depan sana yang akan kusambut dan kusyukuri.

 

 

Bismillah, semoga kami bisa belajar banyak, bertumbuh bersama, memenuhi hati kami dengan kesan dan syukur yang mendalam. Doa dan peluk untuk kita sekalian.

 

Kadang kita hanya perlu membuka diri dengan hal baru yang kita hadapi. Bukan menyesalkan harapan yang gagal terjadi.

 

Yogyakarta, 17 Dzulqoidah 1441