Allah, maafkan diri yang jauh lebih sering berlari menuju-Mu ketika memang hati sedang dililit emosi. Ampuni.

Allah, bolehkah diriku rindu?

Aku membayangkan seorang gadis yang berlari riang dalam seragam taman kanak-kanak. Melompati genangan air sisa hujan pagi tadi. Berteriak dan tertawa mendapati baju kawannya terkena noda. Lalu menangis ketika giliran bajunya yang terkena tanah basah.

Aku rindu menjadi gadis itu. Hari ini ada tangis yang enggan menampakkan wajah. Semua tertahan tanpa alasan. Sanubariku tidak tenang dengan segala tuntutan yang makin memberatkan.

Aku rindu menjadi gadis itu. Sedih senang adalah episode yang hanya soal waktu menjadi rutinitas keseharian. Tidak ada stres akan amanah dan tanggung jawab, tidak ada rasa takut dan ketidaknyamanan.

Aku rindu menjadi gadis itu. Aku ingin kembali. Aku ingin membentur tembok yang membuatku terkurung. Aku ingin menyusup ke masa lalu. Aku ingin! Ingin! Ingin sekali!

Aku rindu menjadi gadis itu.

Aku menyesal menjadi gadis ini. Amanah-amanah yang perlahan ditumpukan ke pundakku telah begitu beratnya terasa.

Aku menyesal menjadi gadis ini. Dengan mudah kuiyakan segala tawaran amanah, tapi sebab lalai, sok mampu, dan lengah, membuatku begitu payah. Berapa banyak beban yang akhirnya tumpah. Sebagian pecah. Tak lagi bisa dipertahankan.

Aku menyesal menjadi gadis ini. Gadis ini. Yang duduk di sini. Malam ini. Mengetik postingan ini. Meski kata sebagian orang-yang-dijagakan-aibku-dari-pandangannya berseru padaku soal iri, tapi sebetulnya aku jadi malu sendiri. Hei. Aku tidak sebagaimana yang kalian bilang begini. Lebih miskin akhlak, terlalu sering bersikap anak-anak, dan dosanya begitu banyak.

Alloh, gemetar badan dan jemari. Ingin kukeluarkan isi dan beban batin lewat air mata, tapi mengapa dia tak mau tercucur saja? Mengapa hanya menjadikan sesak ruang kecil dalam diriku?

Atau aku kehilangan sesuatu? Siapa aku?

Aku menyesal.

Yogyakarta, 19 Muharram 1439

—–

So, what do I have to do?