Kisah 1001 Fajar
Mengulas Bacaan & Tontonan

Review Buku “Bagaimana Si Miskin Mati” Karya George Orwell

Siapa yang nggak kenal George Orwell?

Aku adalah salah satu orang yang akan mengangkat tangan bila pertanyaan itu tersampai padaku satu atau dua tahun yang lalu. Hehe.

Ok, memang, pada Juli 2016 pernah kubeli buku kumpulan esainya yakni “Bagaimana Si Miskin Mati”, tapi tak betul-betul kubaca buku itu, atau katakan saja bahwa akalku belum sampai untuk mencerna tulisannya kala itu. Namun pengetahuanku soal siapa sosok Orwell yang sebenarnya baru kuketahui belakangan. Beliau adalah… penulis, yang jelas, hehe. Dua karya daebak-nya yang kuketahui adalah Animal Farm dan 1984. Nama aslinya Eric Arthur Blair, seorang Inggris asli, sempat menjadi polisi imperialis meskipun dia benar-benar tak nyaman dengan pekerjaan itu, sempat hidup melarat juga di London dan Paris, ugh ok dan berbagai fakta lainnya yang bisa ditemui dari berbagai sumber.

Judul buku : Bagaimana Si Miskin Mati
Penulis : George Orwell
Penerbit : OAK
Tahun terbit : 2016
Cetakan : I
Hal. : 216 halaman

Beberapa hari yang lalu, syukurlah Allah meridhoi untukku menghabiskan buku Orwell ini. Tersampaikan berbagai esai yang merupakan buah dari segala kegelisahannya saat menghadapi berbagai peristiwa sebagai polisi, penjual buku, penulis, sekadar pengamat yang membuatku tidak tahu apa sebetulnya pekerjaannya, dsb. Nyaris di setiap bab, kubuat catatan apa yang melesat dalam benakku usai mencerna keluh-kesah dan pemikirannya. Berikut, pemaknaan-pemaknaan yang luber kemana-mana dari semua esai hendak kurangkum dalam beberapa poin saja. Bismillah, semoga bisa:

1. Pertentangan Batin terhadap Kondisi Sekitar
Sebagai polisi Inggris, Orwell harus menghadapi berbagai fenomena ngeri mengenai pembunuhan, kematian, dan lain hal yang membuat nuraninya tidak tahan ditempatkan pada daerah jajahan. Apakah semua ini dapat dibenarkan? Ia ragu. Tapi bersamaan dengan itu, seolah tubuhnya berlaku tanpa mampu dikontrolnya. Ketika seorang kawan membuat lelucon soal mayat tadi, entah bagaimana tawanya ikut meledak menjadi-jadi. Membuatku bingung: apa yang terjadi? Namun akhirnya pada lain bab, sedikit disingkapnya pertentangan dalam batinnya sendiri, “Yang saya mengerti waktu itu hanyalah bahwa saya terjepit antara rasa benci terhadap imperium yang saya abdi dan cecunguk-cecunguk jahanam yang selalu mempersulit pekerjaan saya.” (cecunguk di sini dimaksudkan pribumi Burma yang kala itu dijajah Inggris). Berada dalam posisi sebagai penjajah menumbuhkan sikap merasa lebih baik dari masyarakat yang dijajah. Pun, seorang George Orwell pernah mengalaminya.

2. Kesurutan Cintanya pada Tulisan dan Buku Bacaan
Jujur, ketika membaca bab “Mengapa Saya Menulis” rasanya kutemukan seorang teman yang sedang dilanda perasaan yang sama. Dituliskannya yang dulu semasa kecil bercita sebagai penulis, “Dari umur tujuh belas sampai dua puluh empat tahun, saya mencoba meninggalkan cita-cita itu, tapi saya melakukan itu dengan kesadaran akan pengkhianatan saya terhadap sifat dasar saya dan bahwa cepat atau lambat saya harus mulai menulis.” Kubayangkan sosok tubuh lelaki yang sedang mengetik kalimat tersebut ialah tempat bersemayamnya jiwa sebagaimana milikku saat ini. Setelah sekian lama, akhirnya dia menulis juga, dan keseriusannya–sepertinya–lebih membabibuta. Lalu, padaku? Akankah? Dan, kapankah?

Oya, dia sempat menyeratkan juga, “Melihat apa yang ada di depan mata kita membutuhkan perjuangan yang terus menerus. Satu hal yang dapat menolong kita untuk mencapainya adalah menulis buku harian, atau, paling tidak, semacam catatan atas pendapat kita tentang peristiwa-peristiwa penting.”

Ketika menjadi penjual buku, ia sempat dilanda perasaan tidak menyenangkan. Yang awalnya sangat mencintai buku-buku tua, sekarang rasanya buku-buku itu hanya akan mengingatkannya pada pelanggan yang membuatnya tidak tahan. Mungkin, sebetulnya ia bosan. Atau entahlah.

Kemudian menjadi menarik juga bagiku, sebuah gambaran soal para pengulas buku yang selama ini dalam pandanganku keren juga. Wah, bacaannya banyak! Buku apa-apa diberinya testimoni, diberinya komentar, dan sebagainya. Dalam buku ini dikupas bagaimana Orwell memandang motif kesemuanya. Termasuk bagaimana mikrofon bisa menjadi ruang bagi para penyair puisi mengekspresikan perasaannya, keterkaitan bahasa dan politik, dan masih buanyak lagi.

3. Pemaknaan Sederhana Hingga Besar
Georger Orwell bahkan menyinggung pandangannya mengenai bom atom, nasionalisme, rumah sakit, sosialisme, bahkan renungannya mengenai katak. Menurutku, mengaitkan antara peristiwa-peristiwa sederhana begitu dengan gagasan yang besar membutuhkan suatu otak yang cemerlang. Dan menurutku, ia memilikinya.

Tidak banyak yang bisa kusampaikan, berikut catatan-catatan kecil yang aku tulis ketika membaca halaman demi halaman tulisan Orwell:

“Diri ini kadang khawatir juga bahwa banyaknya motivasi ialah dari keinginan mendapat perhatian teman dan membuat orang terkesan,” Rajab 1439 usai membaca kisah saat Orwell yang merasa perlu memberi kesan patriotik terhadap bangsanya di depan masyarakat pribumi.

Ketika melihat para pengupas buku dengan latar belakang motivasi yang tidak jelas, kuseratkan, “Setidaknya saya harus makin gereget mengejar bacaan, sebab beroleh kesadaran, masih banyak ketinggalan oleh banyak teman. Termasuk pengulas buku yang bahkan katanya sampai tidak tahan.” 19 Rajab 1439. Lalu dilanjut juga dengan kalimat sebagai respon pada bab baru yang mengupas soal ‘keterlenaan’ banyak pribadi oleh kehidupan yang damai dan penuh hiburan, sedangkan banyak peristiwa dalam kehidupan yang terlupakan, “Jangan terlena dengan hiburan. Apa kabar kemanusiaanmu?”

Kemudian beberapa topik yang bagi saya masih agak berat mencipta rasa membuncah karena sulit memahami dan serat mempercepat bacaan, “Alloh! Lamban saya membaca, sedikit saya mencerna. Memang miskin sekali apa yang saya punyai.” 23 Rajab 1439. Pun saya temukan rasa mendalam, “Saya semakin mencintai gelisah. Meskipun kalau ditanya, “akan ke mana setelah terbebas?” tentu saja saya ragu.” 28 Rajab 1439.

Impuls-impuls lain jauh lebih banyak lagi, tapi mungkin belum sampai pada dorongan untuk menuliskan. Semoga semakin ke sini, spiritku bersemi.

Yogyakarta, 2-4 Sya’ban 1439

Related posts

[RESENSI] Mengupas Kata Perempuan

Ahimsa Wardah
8 tahun ago

Teman Hidup (Buku, Wayang, Lagu, dll)

Ahimsa Wardah
6 tahun ago

Review Buku “Hatta”

Ahimsa Wardah
6 tahun ago
Exit mobile version