Taman begitu lengang, adalah kalimat yang mampu begitu saja menyederhanakan gegernya hiruk pikuk di kotaku. Tidak salah kalau hampa menjadi satu-satunya rasa yang aku dambakan sekarang, yang kuharap mampu menghilangkan gelisah yang tiada berakhir di sini.

Selalu kau dan aku berjalan beriringan di sini, bersenda gurau hingga membuat nafas yang lain tersengal-sengal karena tertawa tiada usai. Lagi-lagi kuingat sebuah kenangan manis dimana engkau buru-buru mengorbankan bangku tamanmu demi membantu seorang anak yang merengek atau nenek yang sepuh. Betapa jelas seluruh semesta saat itu dibuat terpesona akan tingkahmu yang begitu. Hingga kini aku hanya tersenyum saat mataku menembus rimbun taman untuk menemukan kenangan itu di suatu tempat yang jauh.

Pertanyaan yang benar-benar ingin aku hindari sekarang adalah pertanyaan angin dan daun di taman ini. Kadang mereka membuatku tak nyaman ketika bergesek seolah menimbulkan suara teduh yang memanggil, “Mengapa sendiri begitu?”

“Tolong jangan menyindir begitu,” jawabku tegas. “Aku sedang menunggunya.”

Semua sesungguhnya baik-baik saja. Tiada yang berbeda kecuali kejanggalan jantungku yang tiba-tiba tergesa-gesa berdetak, memberikan efek samping yang semakin aneh ketika bicara denganmu.

Sebuah lampu taman membuatku terlena untuk sejenak bertatapan dengannya.

“Menyenangkan bukan membiarkan taman ini mengenal kita?” seruan yang kau ucapkan tiba-tiba membuatku jera untuk diam. Tapi tetap saja aku hanya bisa tersenyum di sampingmu saat kita duduk berdua di bangku panjang itu. Kau lanjutkan, “Tolong, jangan malu mengungkapkannya.”

Kujawab seruan tadi, “Tentu, ini menyenangkan.”

“Bukan, bukan itu.”

“Apa?”

“Jangan malu mengungkapkan rasamu.”

Di sini tiada lagi nafas yang tersisa untukku dan seluruhnya terasa jauh. Kata-kata juga bibir yang baru saja kuajak bicara, kesemuanya menjauh. Aku menoleh ke sisi dimana seharusnya ada kau di sana, tapi semua itu hampa. Kemana?

Ternyata, lagi-lagi kau hanya berakhir di bayangan lampu taman.