Dua poin penting. Pertama, aku haus berjuang. Kedua, aku lelah berjuang. Berjuang di sini kumaksudkan melakukan sesuatu yang memberikan kebermanfaatan bagi diri maupun banyak orang. Dalam dadaku ada teriakan yang menuntut peningkatan kualitas disertai kerja yang mencipta kebaikan untuk masyarakat banyak.

Berderet-deret amanah berdatangan, “Kamu siap, Ahimsa?” dan tanpa pandang bulu dan tanpa meyakinkannya dulu, “Siap!” demi melegakan siapa yang menawarkan dan meminta bantuan.

Maka dimulailah sebuah perjalanan, yang berkelok-kelok dan berliuk-liuk. Gayaku sudah kaya pejuang betulan. Tas besar, perbekalan penuh, kacamata hitam, biar kelihatan wah. Satu perjalanan dengan banyak tujuan. Kepalaku terbagi-bagi dalam berbagai arahan. Di sini menuntut ini, di sana menuntut itu. Sayangnya, rasa sok-sokan itu membuatku semakin tidak karuan, “Aduh, gimana kalau semua urusan tidak sampai pada tahap penyelesaian?” Aku semakin berlari kencang. Sebab dituntut oleh keadaan, aku pun menuntut badan dan pikiranku sendiri, yang pada akhirnya pun kenyataannya tidak bekerja maksimal dan total. Sebab apa? Sampai saat itu aku belum tahu, hehe. Entah nanti di akhir tumpahan rasa ini.

Kusisihkan amanah di kampung. Kuabaikan banyak hal di lingkungan. Sedikit sekali kutuangkan kontribusi di kampus. Termasuk, wadah yang di awal waktu pernah membuatku bergembira sekali mengawali. Dan jangan tanya soal akademik yang semakin kutinggal-tinggal. Pun, sedikit-sedikit juangku di organisasi pergerakan, cuma tampil wajah, tapi solusi dan kontribusi? Yo ngonolah. Astaghfirulloh. Aku di mana-mana jadi setengah-setengah.

***

Sebetulnya ini sudah agak lama. Tapi tentunya, sebab aku manusia, mangkuk penuh isinya salah dan lupa jadilah hal-hal penting pun kadang sulit tersimpan. Apalagi belum sempat ditulis, peluang untuk ingat ya makin miris. Allohu.

Jadi, sebuah nasihat cantik dan baik hadir padaku pada malam rapat RW. Itu pertama kalinya aku ikut, seingatku. Pemuda-pemudi diundang. Kebetulan hanya aku seorang pemudi di sana, yang lain beda kelamin. Nasihat yang aku dapati sebetulnya juga tidak sengaja sebab itu merupakan hasil menyimak rapat senior-senior di sana, Bapak-Ibu terutama.

Ketika itu, kami sedang panas-panas mencari penanggungjawab sebuah agenda baru di RW. Eh, malah lempar-lempar ke sana kemari karena belum ada yang bisa memenuhi. Sampai tawaran tersebut sampai pada Budhe Siti, masih saudara jauh. “Bagaimana Bu Siti kalau jadi PJ (penanggungjawab) agenda Jam Belajar Malam buat anak-anak?”

Singkat cerita, Budhe Siti sebetulnya sudah penuh dengan banyak amanah lain baik di PKK, acara ibu-ibu yang lain, pun mengajar full selama seminggu, dan aktivitas-aktivitas lainnya. Tapi, beberapa orang banyak yang mantap dan setuju bahwa beliau cocok memegang amanah ini. Beliau dinilai cocok dan mampu, terutama karena beliau guru. Aku tersenyum mengiyakan itu.

Tapi disanggah dan ditolak dengan begitu hormat oleh Budhe.

Sedikit lupa bagaimana kata-katanya, yang jelas, beliau sepertinya tidak bisa. Masalah membagi waktu dan tenaga, terutama. “Kalau saya terima semua amanah, malah artinya saya ndak paham diri saya, mampunya dan sanggupnya,” tutur beliau.

Allohu, bijaknya.

Aku yang kadang masih sering kecolongan masalah niat rasanya sedih. Allohu akbar. Harusnya aku bisa paham kondisi. Tidak semuanya patut diiyakan hanya karena wah si dia bekerja masa aku diam aja, wah lagi ada agenda begini masa aku nggak ngapa-ngapain. Itu bagus, kuakui. Alasan baik untuk memenangkan keinginan berjuang, untuk berkontribusi dan meningkatkan kualitas diri.

Tapi…

Kalau memaksa kita melewati kapasitas diri…? Sungguh, ndak bijak sekali. Kadang aku lemah untuk hal begitu. Ya Allah mohon ampuni, dan beri petunjuk di setiap lini.

Maka, itu kata kunci kedua: sesuai kapasitas diri.

***

Ada yang bertanya: Nah, lho, apa yang pertama? Muehehe. Itu dia, menemukan esensi; memaknai perjalanan ini. Untuk apa? Tujuannya apa? Belum lagi cukup terdorong menuangkan. Sebab sudah beberapa kali tapi masih berusaha menumbuhkan spirit itu. Bismillah.

Yogyakarta, 28 Sya’ban 1439