Kisah 1001 Fajar
Berlayar Bersama Bapak

Gema di Lorong

Tap.

Tap.

Tap.

Di lorong sunyi itu, suara yang paling kentara adalah suara langkah-langkah kaki, langkah yang maju jalan, langkah yang tidak ragu dan begitu berani. Kata sebagian langkah lain yang tidak sengaja berpapasan, “Kamu kuat sekali. Kaki-kakimu begitu kokoh dan tangguh.”

Aku hanya mampu tersenyum tipis. Kalimat itu tidak berpengaruh sama sekali. Karena itu bukan berasal dari suaraku, itu suara orang lain.

Memang. Aku tidak akan pernah mengelak bahwa kaki-kaki itu tumbuh begitu kuat, tidak gentar menghadapi siang yang panasnya terik dan malam yang dinginnya mencekik. Aku kadang tidak percaya kaki-kaki itu sudah membawaku sejauh ini, seolah hanya mimpi yang mungkin hanya hitungan menit akan direnggut ketika kesadaranku sudah kembali. Tapi ternyata, langkah-langkah itu begitu nyata. Hanya diriku saja yang belum benar-benar di sana.

***

Berfoto di depan poster film Ketika Berhenti di Sini.

Hari-hariku ditemani lebih dari cukup tontonan dan bacaan. Beberapa minggu lalu, aku pergi ke bioskop dan menonton film Ketika Berhenti di Sini. Lalu, sempat tidak berselang lama aku juga menghabiskan episode drama Korea Twenty Five Twenty One yang sudah kutunda-tunda sejak setahun lalu, lalu berlanjut ke Summer Strike yang mendadak menarik perhatianku. Pun baru saja semalam kukhatamkan novel memoar Educated.

Semuanya bagus-bagus, menarik-menarik.

Meskipun tidak saling berkait dari sisi produksi maupun isi, namun kesemuanya menggurat kesan yang lebih dari sekadar hiburan bagiku. Hingga membawaku pada satu rasa yang begitu kuat dan tidak bisa kutahan. Itu dia, rindu.

Ketika Dita di film Ketika Berhenti di Sini merebahkan diri di atas tempat tidur sambil membayangkan almarhum kekasihnya di sampingnya atau ketika ia pada akhirnya memberanikan diri untuk pertama kalinya mengunjungi makam ayahnya yang sudah lama meninggal. Atau ketika Na Hui-do kecil di drama Twenty Five Twenty One ditemani ayahnya belajar olahraga fencing atau ketika ia pergi ke makam ayahnya bersama dengan ibunya, juga untuk pertama kali. Atau ketika Yeo-reum di drama Summer Strike merasa tidak karuan hidupnya usai sang ibu meninggal dunia dan tiba-tiba muncul keinginannya untuk meninggalkan kota, menuju desa yang lebih tenang. Atau ketika Tara di novel Educated menghadapi gejolak batin karena mencintai dan membenci ayahnya dalam waktu bersamaan.

Meski tidak semua detail cerita itu relevan dengan apa yang kualami secara pribadi, tapi momen-momen itu cukup untuk mencipta rasa sesak di dadaku, kadang juga sampai membuat basah pelupuk mataku. Rasanya seperti diingatkan bahwa ada hal yang “hilang”. Baru saja. Seperti belum lama.

***

Kadang aku membayangkan lagi saat-saat suara berat dan bertenaga itu memanggilku dan adik-adikku dari kamar depan, “Sini, balapan nyayang Bapak!” Lalu, kami bertiga yang tersebar entah sedang mengerjakan apa akan segera beringsut buru-buru masuk kamar, berebut tenggelam di pelukan Bapak yang biasanya sedang leyeh-leyeh rebahan. Kadang, aku dan si Sobat, adik yang paling kecil, akan iseng menggelitik satu sama lain agar salah satu dari kami menyerah. Bapak pasti akan menertawakan kelakuan anak-anaknya itu.

Tidak jarang juga, Bapak hanya memanggilku sendiri. Biasanya, untuk membahas hal-hal yang serius. Obrolan antara Bapak dan anak perempuan pada umumnya. Saat memeluknya, sering aku merasa geli kalau janggut-janggutnya mengenai dahiku, jadi aku memilih mlorot ke dada atau perutnya. Bapak terasa begitu hangat. Pertimbangannya dalam keputusan-keputusan yang kubuat selalu membuatku menaruh hormat, pun pesan dan perhatiannya yang kadang kala terlalu berlebihan pun tetap berusaha kudengarkan.

Ah, Bapak. Sehangat itu. Pantas saja, mudah aku ingat lewat hal-hal kecil di film, drama, buku, atau apapun yang sedang ada di hadapanku.

***

Saat ini, aku membayangkan diriku sedang berjalan menelusuri sebuah lorong dimana tidak ada jalan ke belakang. Pilihanku hanya maju berjalan ke depan. Tapi, lorong itu begitu gelap. Kadang, aku merasa … belum siap.

Beberapa kali, aku tidak sengaja menemukan Ibu sedang menangis. Bagaimanapun aku tahu, di antara semua yang kehilangan, Ibu adalah yang paling kehilangan. Meski begitu, Ibu juga yang paling tangguh di antara kami semua. Seribu bahkan sejuta kali lebih tangguh daripada anak pertamanya ini. Melihatnya, aku mengambil kesimpulan sendiri.

Kuat bukan berarti tidak pernah menangis. Ikhlas bukan berarti lupa. Menjadi kuat dan menjadi ikhlas adalah proses perjalanan panjang untuk menerima rindu, membiasakan doa, serta memeluk semuanya dengan pasrah. Penuh. Lepas.

Kaki-kakiku sudah agak jauh melangkah sekarang. Aku memintanya berhenti sejenak, kemudian duduk dan memeluk keduanya di tengah lorong gelap itu. Erat sekali. Kuciumi satu per satu dengkulnya, sambil berbisik pelan, “Terima kasih, terima kasih… Kita istirahat dulu ya. Aku tahu kamu lelah. Jangan lagi terus menerus memaksa. Cukup, cukup dulu di sini.”

Related posts

Kisah Si Tuan Sederhana

Ahimsa Wardah
8 tahun ago

Pesan Sebelum Terlelap

Ahimsa Wardah
11 bulan ago

Menjadi Pemimpin: Cerita soal Bapak

Ahimsa Wardah
11 bulan ago
Exit mobile version