Pamitan itu nggak enak. Ya kan?

 

Nggak semenyenangkan pertemuan. Ketika kita baru mengenal, memulai obrolan, berbagi cerita, menemukan hal-hal unik bin seru yang baru diketahui satu sama lain. Pamitan jelas nggak mengasyikkan, karena itu artinya kita akan berpisah. Pamitan, berarti kita akan berjauhan.

 

 

Hehe, salah satu bacaan yang menemani ke-jomlo-anku saat SMA adalah novel karya Om Pidi Baiq yang laris manis. Tahulah ya, Dilan 1990. Cerita itu berlanjut sampai buku ke-dua Dilan 1991 dan buku ke-tiga Milea.

 

Buku pertama yang membuat meleleh itu ternyata harus ditutup oleh kesenduan cerita di buku kedua dan ketiga. Cerita bahagia dan konyol khas bucinnya anak SMA tahun 90-an harus berakhir sedih karena momen ‘pamitan’ yang ternyata tidak rapi digelar.

 

Tokoh Dilan dan Milea yang sejak awal udah dinilai cocok sekali dan saling melengkapi akhirnya harus putus karena dua-duanya tidak mau mengalah. Dilan ingin tetap membela gank motornya. Milea yang khawatir terhadap keselamatan pacarnya mengancam putus kalau Dilan masih berurusan dengan gank itu. Haduww, itu 90-an, kalau zaman sekarang pasti ceritanya si Dilan mau aksi demo ke gedung DPR, terus si Milea khawatir kalau pacarnya diserang buzzer di twitter~

 

Oke, balik lagi, Milea dan Dilan akhirnya benar-benar putus. Dan setelah itu, mereka tidak sempat menjalin hubungan baik. Pertama, karena sama-sama gengsi. Kedua, karena banyak kabar miring tersebar, seperti Dilan tahunya Milea udah punya pacar atau Milea tahunya Dilan udah ada cewek, padahal mereka sama-sama nggak pernah nanyain. Aishhh. Gemes sih.

 

Momen pamitan alias putus mereka juga nggak adem. Adegannya panas. Penuh emosi. Bukan dibersamai kesadaran utuh. Malah sepertinya sikap keduanya lebih didorong keegoisan ingin mempertahankan keinginan masing-masing.

 

Tentu, itu bukan cara putus yang baik. Widiiiw, aku ngomong kayak orang udah berpengalaman putus yak? Hahaha. Mengutip kata-katanya Bang Fahd Pahdepie, “Waktu ketemu aja sadar. Kalau mau berpisah ya juga harus dalam keadaan sadar.”

 

Beberapa kali aku juga menemukan teman-teman yang membuatku agak shock dan sedikit sakit hati sebenarnya dalam hal pamitan. Uwuu, bukan soal bucin-bucinan yak. Tapi yang tiba-tiba aja, nggak ada kabar, padahal sepertinya kita udah sama-sama ada komitmen mau mengerjakan sesuatu bersama. Cieee.

 

Seorang sahabat sepakat berniat berada satu tim denganku untuk menggarap sebuah projek. Tapi suatu saat, dia sulit sekali kuhubungi. Sampai heran, padahal kayanya baru kemarin semangat banget mengerjakan. Sampai akhirnya beberapa minggu kemudian, dapat kabar dari orang lain ternyata dia mau mengikuti projek orang lain. Huehuee, sediii sekaliii.

 

Lain waktu juga pernah, kejadiannya mirip. Aku dan seorang teman mau menggarap sebuah kegiatan bersama. Sudah sampai H-2 pelaksanaan, kuhubungi susah sekali padahal kita sama-sama menjadi penanggung jawab di sana. Walhasil, aku dibantu oleh beberapa sahabat baik yang lain. Satu atau dua minggu setelah acara, dia baru berkabar kalau ponselnya kemarin sempat rusak. Huehue, okey itu lumayan sih alasannya. Cuma ya… gimana ya… Dia juga nggak ikutan pas di hari H acaranya.

 

Hehehe, ini kuceritakan bukan karena aku masih belum menerima kok. Tapi sebagai contoh saja ya. Aslinya mah aku sudah suwantey saja.

 

Banyak sih pengalaman seperti itu. Dimana kadang kita nggak sempat berpamitan, mungkin karena lupa, atau menganggap itu nggak penting, atau mungkin pengen cari waktu yang tepat, atau mungkin juga saking takutnya jadi bingung gimana caranya pamitan.

 

Berpamitan untuk berpisah, meninggalkan tugas dan kewajiban, memaafkan dan menerima apa yang sudah terjadi, serta siap menghadapi konsekuensi kadang membuat kita ragu. Kita takut kalau membuat tidak enak. Takut merasa bersalah. Takut dinilai salah. Takut dibilang jahat.

 

Padahal dengan membiarkan momen perpisahan berjalan tidak rapi, kadang membuat masa depan yang dijalani jadi kacau. Langkah ke depan akan terus tertarik ke belakang. Bahasa Jawanya, “Ora lego. Isih ngganjel.” Ada yang masih tertinggal di belakang, ada yang belum benar-benar selesai.

 

Ngomong-ngomong, bisa jadi walaupun aku menuliskan hal ini sok santai sekali, mungkin sadar atau tidak sadar, aku juga pernah menjadi orang yang lupa untuk pamit. Untuk itu, aku mohon maaf. Semoga aku jadi semakin peka dan berhati-hati.

 

Belakangan aku belajar bahwa menjadi penting untuk berpamitan secara baik-baik, secara jelas juga pastinya. Kadang kita berpikir dengan tidak mau bertemu saja sudah cukup menjadi tanda berpisah. Mengirim banyak dokumentasi kegiatan di status WA sudah jadi tanda kita sibuk dan belum bisa menyempatkan menyapa.

 

Kadang kita berpikir orang lain di luar sana sudah akan bisa mengerti dan menerima keinginan kita. Keharusan kita meninggalkan. Padahal tidak, tidak selalu. Kadang salah paham, pikiran negatif, gunjingan-gunjingan itu datang tanpa diundang dan tidak memberi tanda ketok-ketok pintu. Tiba-tiba saja sudah membesar dan kita jadi kewalahan menghadapinya.

 

Memang tidak begitu menyenangkan untuk berpamitan. Orang-orang akan bersedih, kecewa, bahkan kadang jengkel dengan keputusan kita pergi. Tapi itu tugas kita untuk tidak membuat mereka lebih sakit hati nanti. Lebih baik hari ini. Lebih baik kita jelaskan hari ini.

 

Tentu saja, pamitan ini perlu disadari adalah sebuah tanggung jawab. Kalau pamitan untuk menghindari masalah, namanya tidak bertanggungjawab. Selesaikan, rapikan, baru pamitan.

 

Semoga semua urusan kita dimudahkan dan diberikan barokah oleh Allah SWT. Inget, bersama kesulitan ada kemudahan. Itu Allah janjikan.

 

Yogyakarta, 29 Syawal 1441

 

Terima kasih sahabat-sahabat yang sudah mengajari saya berpamitan. Doa terbaik untukmu. Sehat-sehat selalu.