Aku adalah manusia yang lemah, penuh dengan lupa dan salah. Betapa banyak celah dalam diriku yang kerap menjadi jalan masuk godaan berbuat keliru. Dan sungguh begitu membaperkan, mengetahui diri yang lemahnya seperti itu, Allah masih memberikan banyak penjagaan lewat situasi dan kondisi yang padaku dihadapkan. Alhamdulillah.

“Ya Allah, Ya Rabbi. Jadikan aku mengerti soal diri dan tanggung jawab menjadi seorang putri dari dua insan yang Engkau kasihi. Betapa kerap aku melukai, betapa sering aku tidak peduli, mohon ampuni. Tuntun diri demi membalas kebaikan umi, umi, umi, dan abi.”

Sebab lemahku dalam mengingat kebaikan dan pengorbanan beliau berdua, Ibu dan Babe, mungkin pada kesempatan ini aku dibuatkan jarak begitu lekat. Ketika sebagian besar sahabat dipermudah melancong ke luar kota, berburu teman dan pengalaman, membuat jarak yang sedemikian jauh dengan orang tua; aku masih menjadi anak rumahan yang pagi dan malam bisa mencium kuatnya bau keringat Ibu dan Babe.

Sebagaimana banyak orang bilang, rumput tetangga terlihat lebih hijau, sempat mata terlalu lamat menatap jalan raya di luar pagar rumah dan lupa menengok ke dalam yang isinya orang tua dan sanak saudara sibuk dengan urusannya. Urusan kami bersama, tepatnya. Urusan keluarga, urusan untuk menyelesaikan segala masalah di dalamnya, urusan demi mencipta keharmonisan hubungan darah. Dan, ternyata lama aku tidak memandangnya. Aku lupa.

Betapa baiknya Allah SWT yang masih bersungguh-sungguh mengingatkan pribadiku yang ngeyelnya minta ampun. Suatu kali beberapa saat sebelum fajar menyingsing, suara Babe begitu tegas namun romantis berseru padaku yang masih bergulung sambil membaca novel Ayat-ayat Cinta, pinjaman dari sahabat Atim Ratnawati kemarin.

“Mbak, tahajud dulu.”

Aku masih ragu untuk bangkit. Ada bisikan nakal di dalam batin yang aku tahu dari siapa itu, sosok yang akrab tersapa, say. Serunya lembut, begitu menggiurkan, “Shubuh beberapa menit lagi, kok. Nggak usah aja,” betul kan, sayton.

Aku masih lanjut baca buku hingga sampai pada halaman tertentu. Tiba-tiba ada rasa malu. Mengapa tokoh di novelnya mencipta perasaan begitu? Menyebalkan, menyesakkan. Fachri dikisahkan sedang mengambil wudhu dan beribadah pagi, kan aku malu, kan aku cemburu. Kenapa itu tidak tergerak padaku?

Jadilah aku bangkit. Lalu tersisa beberapa menit sebelum betul adzan Shubuh bertamu.

“Pak, tadi jadinya aku sholat, hehe,” seruku sebelum keluar rumah. Kulanjutkan beberapa alasan pun didukung dari novel itu yang begitu tepat waktu. Maksudku, biar Babe lega dan bersyukur. Tapi, ternyata jawabannya membuat lidah kelu, “Jadi novelnya lebih didenger daripada Bapak?”

Dug, Allohu. Kenapa gigiku jadi ngilu?

Aku tidak melanjutkan obrolan. Bukan karena apa, melainkan nggak tahu harus ngomong apa. Lalu kami pergi dan ibadah ke tujuan masing-masing.

Tangis tersedu-sedu sebab menyadari kalbu yang merasa telah salah berlaku. Bagaimana mungkin sosok yang begitu jelas sayangnya, cintanya, kebaikannya, pengorbanannya, dan jasanya padaku, kuabaikan begitu? Hei, kalbu, kemana pendengaranmu? Aku masih tersedu-sedu.

Bahkan sampai sekarang.

Allohu. Allohu. Terbawa dengan suasana Shubuh itu, aku tahu bahwa kelupaanku pada jasa-jasa Babe dan Ibu telah sedemikian terlalu. Mungkin suasana romantis telah sedemikian tidak kuresapi, tidak kunikmati, tidak kumaknai. Duh, ampuni. Maka mulai beberapa saat lalu, aku mencoba sesuatu yang baru. Mmmm, bukan melakukannya untuk pertama kali, melainkan melakukan sesuatu dengan pemaknaan yang lebih dan lebih daripada sebelumnya.

“Ibu!”

“Bapak!”

Lalu kulemparkan tubuh mendekat sembari meraih telapak yang semakin menua. Punggung tangan itu kurasakan seperti permadani suci yang segera kuhamburkan sentuhan lembut padanya. Kukecup, lama, lama, lama sekali. Aku ingin lama. Lebih lama lagi. Terus, selama-lamanya.

“Yang lama, yang lama!”

Aku adalah manusia yang lemah, penuh dengan lupa dan salah. Betapa banyak celah dalam diriku yang kerap menjadi jalan masuk godaan berbuat keliru. Dan sungguh begitu membaperkan, mengetahui diri yang lemahnya seperti itu, Allah masih memberikan banyak penjagaan lewat situasi dan kondisi yang padaku dihadapkan. Alhamdulillah.

Kecupan yang lama itu, aku rasakan gemetar di sana. Sebuah semangat baru, kebangkitan baru, mimpi-mimpi baru, langkah baru, kedamaian baru, semua hal positif yang baru. Aku lemah, maka perlu diingatkan.

Wahai anakku, tangan ini demikian rapuhnya setelah banyak melakukan sesuatu untukmu. Wahai anakku, tangan ini demikian keriputnya telah banyak melewati ujian tak terbayang yang sulit kuberitahukan beratnya padamu. Wahai anakku, keringat di tanganku ini untukmu. Untukmu, sayangku. 

Kudengar kata-kata yang tak pernah mau disampaikan lewat telingaku. Aku butuh terus menerus didengarkan hal itu karena kelupaanku. Maafkan aku.

“Bapak, Ibu!”

Yogyakarta, 8 Jumadil Awal 1439