Sebuah curahan hati yang ditorehkan pada H-2 Ujian Nasional.

Sejujurnya bertahun-tahun yang lalu tentu aku tidak akan pernah merasa sambat, gelisah, merasa kesulitan, berat, merasa belum siap untuk menghadapi ujian, bahkan meskipun itu Ujian Nasional, ujian kelulusan. Aku bukan orang yang seperti itu. Sama sekali bukan.

“Oh, ujian?”

“Oh,” itu aku.

Ketika kelas 6 di Sekolah Dasar (SD), ujian bukanlah sesuatu yang menakutkan. Tunggu, ini bukan menebar pesona kecerdasan atau semacamnya, ini curhat. Hmmm. Ya, aku dengan mudahnya bisa melampaui teman-teman lain, meskipun beberapa dari mereka juga kadang bisa menyamaiku, tapi menurutku ujian di sini terlalu santai. Aku begitu tenang dan tidak pernah merasa terbebani.

Nilai yang berhasil kucapai akhirnya membawaku melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Fenomena baru yang aku temukan di sini adalah…. nyontek.

Aku memang tetap mampu mempertahankan posisiku sebagai bintang kelas, walau kadang tergeser dan terombang-ambing. Sekali lagi, ini bukan sombong—melainkan tebar kelebihan, eh, he he he—cerita belum usai. Sedangkan fenomena yang baru saja aku temui itu sebenarnya tidak terlalu memengaruhi, bahkan cukup menghibur. Metode unik dan lucu untuk menghindari kecurigaan guru membuatku kadang terpingkal-pingkal dalam bisu.

Meskipun tidak mendapat hasil ujian akhir seperti ekspektasi, namun aku begitu bersyukur mampu melalui masa ujian tanpa beban. Kulanjutkan masa studiku—waduh, gayaku bilang ‘studi’ sudah kaya sekolah di luar negeri aja—ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Di ruang inilah aku menemukan rasa baru, rasa yang kucicipi untuk pertama kalinya, rasa kompetitif.

Fenomena sontek-menyontek semakin merajalela, semakin mengakar dalam, sekaligus semakin unik bin ajaib. Kadang-kadang aku dilanda kebimbangan antara mengakui aku terhibur atau tersungkur.

Metode “fotokopi diperkecil” misalnya. Manusia-manusia SMA rela membeli LKS, membeli buku paket, buku saku, dan sebagainya, yang kemudian mereka copy dengan size yang lebih kecil. Maka sebelum bel biasanya fotokopi terdekat di sekolah dipenuhi dengan mereka yang berambisi mendapat nilai berlebihan. Tentu nantinya juga sepulang dari sekolah, tempat sampah dan jalanan penuh dengan kertas kopian yang sudah terbuang percuma, sisa-sisa upaya menghadapi ujian.

Metode “server-an” dengan berbagai grup di media sosial. Ini juga ada keunikan. Beberapa anak yang join grup ternyata ada yang tidak punya keinginan untuk menyontek, melainkan hanya berbagi jawaban atau menebar kepintaran. Unik! Ajaib! Asyik!

Metode “kode-kode-an” untuk keluar kelas bergantian, atau “bisik-bisik-an” yang sangat lancar jaya dilakukan bila pengawas adalah guru yang tidak bisa diharapkan untuk menjaga ketenangan, juga metode “curi kesempatan” yakni melirik-lirik jawaban manusia yang menjadi bintang kelas meskipun itu sungguh sangat sulit dilakukan.

Aku tidak pernah sambat pada mereka. Itu salah dan aku tahu. Itu tidak tepat dan dikhawatirkan akan terbawa bahkan saat mereka sudah dewasa, aku tahu, tapi betapa aku tidak menjadi sahabat yang baik karena tidak mampu mengungkapkan kecemasanku. Mungkin juga karena aku merasa nilaiku tidak akan terpengaruhi oleh mereka.

Sampai suatu saat, aku ditampar dengan sebuah kenyataan.

Rankingku turun, sangat turun, alias njeblok. Itu titik di mana aku memahami betapa besarnya godaan ingin menyontek, ambisi untuk mendapat nilai yang baik, dan sebagainya.

Waktu bergulir dan aku berhasil memperbaiki diri dengan menanamkan sebuah mind-set bahwa nilai bukan segalanya. Di waktu lain aku menemukan banyak teman-teman yang pengalamannya membuatku terdorong untuk berucap terima kasih.

Pertama, seorang adik kelas baru. Di hari pertamanya ujian ia berani mengadukan seorang kakak kelas yang menyontek. Itu benar-benar membuatku malu sekaligus terkesan. Kudoakan yang terbaik untukmu, nak.

Kedua, seorang adik kelas, sahabatku, asisten mentoringku yang sebenarnya memang sudah sering menyontek bahkan pernah memiliki grup server-an. Namun karena suatu kali ia mendapat masalah maka ia harus ke luar dari grup tersebut, dan betapa bersyukurnya! Seusai itu ketika metode server-an diketahui pihak guru, ia selamat! Barulah ia berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki diri dan menghindarkan dirinya dari kebiasaan bergantung pada sontekan.

Ketiga, seorang teman yang suatu saat ke luar dari ruang ujian dan bertemu denganku di parkiran. Ia menangis di hadapanku mengadu betapa menyiksanya berada di tengah-tengah manusia yang menyontek dan ia hanyalah sebagian kecil dari mereka yang mempertahankan kejujuran. Aku tahu ia bintang kelas, bahkan bintang sekolah, namun ia menangis sekarang!

Masa SMA ini mempertemukanku dengan kompetisi yang cukup mengerikan, menguras emosi, menciptakan korban-korban baik dari penyontek dan yang tersontek; mereka yang terdesak untuk berambisi meraih nilai terbaik dan mereka yang merasa tersungkur di medan kejujuran.

Nostalgia dengan masa kecil di mana aku begitu santai dan tenang menghadapi ujian terasa begitu lucu ketika aku menyadari itu tidak ada lagi di sini.

Semua berubah. Semua semakin wah.

Aku mengatakan ini dulu untuk memotivasi seorang adik kelas—orang kedua yang tadi aku ceritakan.

Menjadi baik itu banyak rintangannya, itu makanya banyak yang akhirnya pilih banting setir, tapi fakta itu malah semakin memperjelas kalau mereka yang mampu bertahan adalah yang terbaik.