Diriku sangsi juga sebetulnya mengenai pengaturan komunikasi di ruang-ruang interaksi, khususnya lewat blog ini. Hihi. Mohon dimaklumi pribadiku yang masih mencari-cari jati diri. Satu momen terdengar bijak, di lain momen terbaca seperti anak-anak. Tapi sebagaimana puisi yang sempat tergurat, apa yang menunggu di masa depanku tentunya tiada mau berhianat pada masa yang telah terlewat. Kencang-renggang spiritku, tenang-tegang emosiku, terang-gersang jalanku, tentunya semua proses itu akan membawa pada akhir cerita terbaik. Aku hanya perlu menguatkan tujuan.

Kemudian, betul-betul dalam hati tidak enakan sebab campur baur bahasaku yang jauh dari kejelasan. Bahasa Indonesia berpadu Inggris abal-abal belakangan mengisi ruang-ruang ini. Aduh, andai sahabat-sahabat tahu, setidaknya kalian bisa lebih sabar dari teman-teman di kelas yang mungkin bosan atau bahkan muak dengan bahasaku yang penuh kekacauan. Hehe, mohon dimaklumi diri yang masih terus belajar dan belajar (semoga kesadaran akan kebodohan ini terus menampar).

Lagu dari Steve Coleman sedikit menghibur. “The Words Escape Me” menggambarkan suara hati seorang imigran yang belajar di negeri lain dengan bahasa yang masih putus-nyambung ia pahami.

“I am studying hard, but I don’t get the jokes. They think I’m stupid, I can’t tell them I’m not. Writing in this book makes me feel at home. The words I can’t escape, they’re hiding my best, you know. What was I thinking? I can’t do this, learn this. Think I’ll just go home. But I can’t go home”

Oh, my Allah. Ugh. Rasanya punya teman yang bisa ikut merasakan berat dan susahnya jalan. Alhamdulillah.

Hanya saja, motivasiku masih sedikit-sedikit kukumpulkan. Aku tahu ini sulitnya minta ampun. Aku pasti sudah akan berpaling dan lari kabur dari jalan ini kalau bukan karena mengingat tujuan di awal, mengingat orang-orang yang telah banyak berjuang untukku, mengingat kata Tan “Terbentur, terbentur, terbentuk!”, mengingat Kekasih yang memeluk erat dan berbisik bahwa Ia akan terus membersamaiku serta menunjukkan bahwa aku mampu selama aku mau mengubah nasibku.

Bunda Iklima Imanda bilang, “Hasil akhir itu nggak ada. Hidup ini proses.” Ya karena hasil akhir cuma bisa ditentukan saat habis sudah masa dan kesempatan kita melakukan perubahan. Oke, berproses dan berproses tanpa harus bertanya banyak: kapan kita sukses? Yang jelas dan perlu diperjelas, kita otw ke sana.

Hyacinth, salah satu tentorku, baik sekali mengingatkan lewat film Inside Out yang sebetulnya pernah kutonton tapi agak kelupaan. Indah sekali. Bahwa sedih itu diperlukan untuk menyadari betapa banyak hal dalam kehidupan yang pemaknaannya tidak segampang bilang “Oke, aku senang!” lalu semua terasa sempurna. Tidak, rasanya enggak. Sulit dan susahnya kondisi yang kuhadapi saat ini harus kusyukuri sebagai salah satu yang mewarnai perjalanan setiap hari.

Menyerah lalu berpaling? Kabur? Diam dan tidak tergerak bangkit? Muangkel njuk wegah mlayu? Tidak semakin tergerak “nggetih”? Itu, aku nggak mau. Tapi sebelum melakukannya, tentu, menikmati sedih dan tangis ini boleh sekali. Tenang, ini tidak ngisin-isini.

“Menangislah dan jangan ragu ungkapkan
Betapa pedih hati yang tersakiti
Racun yang membunuhmu secara perlahan
Hanya diri sendiri
Dan tak mungkin orang lain akan mengerti
Di sini kutemani kau dalam tangismu
Bila air mata dalam cairkan hati
Kan kucabut duri pedih dalam hatimu
…terus lupa liriknya eh, maafkan”

Tadi, lagu Last Child – Pedih. Selamat mencicipi pedih-pedihnya hidup, merasakan perih-perihnya berjuang. Sampai habis waktu dan kemampuan, bolehlah kita berbagi cerita kesuksesan kepada lain teman yang masih dalam perjalanan.

Rumah, 22 Rajab 1439