Lama sudah aku tidak bersua dengan seorang Ahimsa yang biasanya (dan aslinya), yang rela-rela tidur pukul satu atau dua demi menuntaskan curahan cinta kepada lembaran di layar handphone-nya, atau sekadar berkutat dengan gelisah hebat demi menemukan solusi yang tepat. Kedekatan pada dunia, ketertarikannya dengan pernak-perniknya, rasanya mencipta hari-hari yang “monoton” saja. Tanpa diduga-duga, aku terjebak di antara rasa puas akan dunia yang meronta sebab sesungguhnya luka. “Dunia, oh, dunia, tanpamu seolah-olah aku akan mati saja,” sebuah seruan indah yang sesungguhnya berbahaya.

Berulang kali kutanyai diri sendiri, “Apakah jiwa-jiwa yang pernah singgah di dunia sebagai ‘pribadi-pribadi yang demikian baik untuk diteladani’ dulunya juga pernah mengalami seperti ini? Seperti perasaanku saat ini?” Rasul-rasul, sahabat-sahabat, idola banyak umat, pernakah? Sebuah ketakutan besar, jangan-jangan jatuhku saat ini menjadikan alasan jalanku ke depan jadi tidak lancar. Aku takut setengah lapar (serius lapar memang sedang menjalar ketika kuserat tulisan ini).
Oh, mataku terpejam demi melihat dunia yang telah berlalu di depanku. Rinduku menumpuk kepada perasaan waktu-waktu dulu. Rasa gelisah, marah, malu, ragu, grogi yang mengganggu dan sekaligus membuatku berseru, “Oke, aku harus keluar dari situ! Aku mampu!” Rasa-rasa yang membangkitkan peningkatan dalam setiap jalan. Rasa-rasa yang memeras kerongkongan hingga kekeringan lalu berniat dan sungguh-sungguh mengisinya lagi dengan kesegaran. Rasa-rasa yang mencekik saluran pernapasan, membuatku megap-megap, dan segera ingin berlari menuju kebebasan.
Apakah aku masih diperbolehkan bertatap wajah dan menjalin kisah dengan “mereka”? Sedang, rasa angkuh dalam kalbuku belakangan telah mencipta jarak yang memisahkan. Masihkah sudi mereka bertemu denganku, wahai mantan-mantan perasaanku?
Yogyakarta, 3 Rajab 1439