“Sehat jiwamu sepenting sehat tubuhmu!”

Uwu. Salah satu yang paling kusuka saat ada obrolan mengenai kesehatan mental adalah diingatkannya diriku untuk punya mindfulness. Kesadaran utuh, kesadaran penuh. Kalau tidak salah, dulu Bunda Ria Putri yang pertama kali mengakrabkan kata ini ke telingaku.

Bukankah kadang pikiran kita terlalu asyik kemana-mana, terlalu jauh melalang buana? Ke masa lalu yang sudah tidak bisa diubah atau ke masa depan yang bahkan belum bisa disentuh. Sampai diri lupa sedang menjejakkan kaki di hari ini.

Catatan ini ditulis insyaallah dalam keadaan sadar penuh pada 1 Maret 2021.

Oke ini foto di samping monumen serangan umum, hehe monmaap ga ada foto di depannya ternyata huehue 🙁

Belum lama aku merasa sembuh dari rasa kewalahan menghadapi hari-hari yang membikin suntuk. Rasanya belum bisa menerima kesalahan-kesalahan masa lalu, belum sepenuhnya seiya dengan jalan yang akhirnya harus dilalui, hingga hidup di hari ini pada suatu hari seperti dibayang-bayangi ketakutan, apa yang akan terjadi di masa depan kadang jadi membikin deg-degan bahkan kadang mencipta kegelisahan.

Rasanya capek. Parahnya lagi, urusan-urusan hari ini jadi tidak rapi. Sadar tidak sadar aku jadi sukar mengelola tugas, amanah, bahkan hubungan. Lebih parah dari pegadaian yang punya semangat “menyelesaikan masalah tanpa masalah”, kadang aku malah “menyelesaikan masalah dengan menambah masalah”. HEHEHE. Tiba-tiba dengan seorang teman yang tidak ada masalah muncul perasaan tidak nyaman sebab aku membawa urusan akademik saat bersamanya, dengan orang rumah timbul pula sikap emosional karena aku membawa urusan pertemanan saat pulang. Semua urusan jadi campur aduk. Sempat puncak-puncaknya aku menuliskan di caption instagram.

Hingga akhirnya kusadari, yang kubutuhkan adalah menyadari betul sepenuhnya tentang hari ini. Apa yang terjadi, ada dimana aku, bersama siapa aku, mimpi apa yang menungguku, apa yang aku punya saat ini. Semua itu menuntut kesadaran agar diriku terbebas dari kecemasan berlebihan, yang kadang sia-sia.

Kutarik napas perlahan lalu ku lepas.

Maka di hari Senin ini, dimana beranda media sosial begitu ramainya dengan ucapan peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949, diriku mencari-cari … makna apa yang bisa kutemui hari ini?

Betul, diriku sudah begitu lama tinggal di kota Jogja. Begitu dekat jarakku dengan monumen bersejarah itu. Tapi rupanya belum begitu akrab diriku dengan kotaku sendiri, aku tidak tahu banyak soal yang terjadi di bulan Maret itu, selain bahwa Jogja yang berhati nyaman ini mengalami penyerangan. Hohoho. Maka, biarlah catatan pendek soal kekagumanku pada sosok-sosok luar biasa yang sudah berjuang di momen itu bisa menambah makna hari ini. Baik untuk diriku pribadi maupun siapa tahu dirimu juga sahabatkuy.


Tahun 1948-1949

Pada waktu itu, negeri kita tercinta ini memang sudah memproklamasikan kemerdekaan. Episode penjajahan Jepang sudah tamat selepas kekalahannya dalam Perang Dunia II. Namun ternyata Belanda yang sudah lebih senior dalam menjajah negeri ini belum legowo dan masih ingin kembali menduduki tanah pertiwi. Setelah merdeka, Indonesia diuji oleh banyak hal. Salah satunya pada 19 Desember 1949, Belanda melakukan sebuah agresi militer untuk kedua kalinya. Bahkan menculik tokoh-tokoh sentral negeri ini seperti Ir. Soekarno, Moch. Hatta, Soetan Sjahrir, dan sebagainya. Dalam buku Tamansiswa 30 tahun juga disampaikan bahwa Ki Hadjar Dewantara juga menjadi salah satunya. Ibukota saat itu sejak tahun 1946 sudah dipindahkan untuk sementara waktu ke Kota Yogyakarta karena situasi politik begitu panas. Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang merupakan pemimpin di Yogyakarta pun juga menjadi tahanan rumah.

Kalau dipikir-pikir, keadaan negeri kita saat itu sudah benar-benar sulit dan sempit. Mau apa dan gimana lagi coba? Rakyat tanpa pemimpin, bisa dibayangkan kan kacaunya? Siapa yang akan diikuti oleh para rakyat? Siapa yang suaranya akan didengarkan dunia? Maka keadaan itu dimanfaatkan oleh Belanda untuk menyampaikan di hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa Indonesia sudah mati. Indonesia sudah tidak ada lagi.

Namun, di antara berbagai upaya mempertahankan kemerdekaan, salah satu yang patut diacungi jempol adalah meletusnya Serangan Umum 1 Maret 1949. Versi yang paling meyakinkan mengatakan kalau ide ini muncul dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX supaya para tenaga militer Indonesia bisa menunjukkan keberadaannya. Ini adalah satu-satunya elemen yang mungkin masih ada pengaruhnya, mengingat saat itu Jenderal Soedirman sebagai pemimpin tidak termasuk yang tertangkap Belanda. Tenaga militer direncanakan untuk mengambil alih Kota Yogyakarta dari kuasa Belanda setidaknya selama enam jam. Ide dari Sri Sultan tersebut disampaikan kepada Jenderal Sudirman dan dilaksanakan salah satunya oleh Letkol Soeharto (ada banyak kontroversi soal ini, tapi aku pribadi belum sedalam itu mencari). Pada tanggal 1 Maret, sejak pukul 06.00 WIB tentara Indonesia dan tenaga rakyat, yang gigihnya luwar biyasa sekali, melakukan penyerangan ke kota dan mendorong militer Belanda mundur. Kota itu dipertahankan selama enam jam hingga pukul 12.00 WIB lalu pasukan ditarik kembali.

Yep, menurutku, ini keren biyanget. Tujuan serangan ini jelas untuk menunjukkan kepada dunia eksistensi bahwa ternyata Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih berjaya, demi menampar muka penjajah di hadapan PBB yang berani sekali mengatakan kalau Indonesia sudah tidak ada lagi. Huuhh! Cukup enam jam saja. Pejuang-pejuang kita dulu tidak ngawur dan hanya berlandas keagresifan ingin “menang” dan “tidak mau kalah” semata. Betul-betul dipikirkannya bahwa yang penting adalah menunjukkan eksistensi bangsa secara efektif efisien, tidak membahayakan rakyat sipil. Itu, bikin salut bangeeeet. Hehe. Masyaallah.

1 Maret ini, penuh hatiku dengan rasa kagum terhadap kecerdikan, kreativitas, dan kegigihan pejuang-pejuang itu. Tentu, bukan berarti cerita sejarah mereka kuanggap seolah tindakan yang begitu “malaikat”. Malah, sebuah perjuangan yang sangat manusiawi dan penuh inspirasi. Hari ini sepenuh hatiku, kudoakan semoga amal baik perjuangan mereka memberikan penerangan dan ketenteraman bagi beliau-beliau di alamnya. Juga terampuni dosa-dosanya. Pun semoga perjuangan baik tersebut bisa diteruskan oleh kami-kami yang masih hidup ini. Insyaallah.


Lain cerita, namun masih berkaitan. Ada sebuah kesan yang timbul padaku setelah beberapa saat lalu mengkhatamkan buku biografi Nyi Hadjar Dewantara yang ditulis langsung oleh salah satu puteranya. Perjalanan hidup perempuan tangguh itu dibawakan begitu sedap. Dari sana, kupahami betapa luar biasanya dan betapa so sweet-nya perjuangan beliau dan sang suami untuk bangsa ini. Sebagai sama-sama keturunan Pangeran Diponegoro dan Nyi Ageng Serang, keduanya sama-sama dipersatukan oleh semangat membela tanah air.

Membaca buku tersebut mengingatkanku bahwa untuk betul-betul bisa memiliki hari ini, menyadari dan mensyukurinya, adalah dengan memahami sejarah. Memang tidak semua masa lalu indah dan baik, tapi mengetahui apa yang terjadi di masa lalu akan membantu kita menerjemahkan hari ini, memantapkan hati soal identitas diri.

Seperti contohnya Ki Hadjar dan Nyi Hadjar Dewantara yang menyimpan cerita mengenai Pangeran Diponegoro dan Nyi Ageng Serang. Dua tokoh pahlawan itu membawa cerita perjuangan yang tidak mudah dan bahkan banyak cerita kekalahan, namun Ki Hadjar dan Nyi Hadjar Dewantara melihatnya sebagai impuls untuk terus melanjutkan perjuangan melawan penjajah dan menegakkan kebenaran.

Jadi, terima kasih.

Terima kasih bagi mereka yang telah memberi kenangan yang begitu berarti bertahun-tahun lalu.

Berkat kenangan itu, kami jadi sangat menghargai diri kami yang bisa hidup merdeka di hari ini, yang tentu tetap harus melanjutkan perjuangan lagi. Dengan cara kami.

Yogyakarta, 17 Rajab 1442