Induk kekhawatiran adalah misteri. |
Sebuah cerita yang sejujurnya belum ingin aku sampaikan, bahkan pada kedua orangtuaku sekalipun, padahal ini sangat genting. Tetapi entahlah, aku punya alasan lain untuk itu.
“Handphone-ku dimana ya, War?”
Pertanyaan Fatma itu membuatku menoleh dan diam sejenak menunggu rangsangan yang diterima saraf telingaku meneruskannya sampai ke otak. Kemudian sepersekian detik ia berhasil mengalahkan suara bising di aula. “Nggak kamu bawa tadi? Ketinggalan?”
“Aku lupa naruh kayanya,” katanya. “Kalau nggak di sini, ya di mushola tadi.”
“Terus, sudah kamu cari?”
Jawabannya tidak mengenakkan, “Sudah. Nggak ada.”
Eh, hei, tadi dia bilang apa? Mushola? Sungguh? Itu mengingatkanku pada sebuah kejadian lain sebelum semua ini. Hal yang nyaris sama persis. Misteri hilangnya handphone di mushola sekolah.
Ketika itu Rohis Ash-Shaff SMA Negeri 6 Yogyakarta sedang memiliki agenda Mabit (Malam Bina Iman dan Taqwa) untuk kelas X. Semacam kegiatan pesantren kilat tetapi bukan ketika Bulan Ramadhan dan lebih memfokuskan tujuannya pada penguatan ukhuwah dan keimanan siswa-siswi SMA Negeri 6 Yogyakarta khususnya kelas X. Di tengah-tengah padatnya rapat sempat terjadi sebuah kejadian yang masih aku ingat betul bagaimana kronologinya.
Jihan, yang ketika itu menjadi koordinator acara Mabit, sorenya kami melakukan ibadah sholat Ashar bersama di mushola sekolah. Sepertinya sudah sangat sore hingga yang aku lihat di sana hanyalah kami berdua, kecuali teman-teman lain yang sedang rapat di ruang kelas dan tukang yang masih sibuk membenahi renovasi sekolah.
Seusai memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim, selanjutnya kami kembali menuju kelas untuk mengikuti rapat Mabit. Tidak ada masalah dan tidak ada yang mengganjal sampai bisikan itu datang ke telingaku, “War, handphone-ku dimana ya?” begitu Jihan mengungkapkan.
Ekspresiku berubah panik tapi tenang. “Di saku?”
“Mushola, tadi terakhir aku tinggal di mushola,” serunya sambil beralih kembali ke mushola.
Lari-lari kecil kami yang berusaha nampak tenang sepertinya sulit dikontrol. Pada akhirnya sedikit kecewa kami menemukan bahwa ponsel tersebut tidak ada di sana. Jihan tidak memperkenankan aku untuk bertanya kepada teman-teman yang rapat karena ditakutkan akan memecah konsentrasi rapat. Tetapi beberapa teman ada yang memilih membantu mencarikan.
Hingga lewat sore kami mencari-cari ponsel itu, bahkan setelah rapat selesai. Hasilnya pun nihil. Sayangnya tidak ada yang memiliki nomor ponsel Jihan ketika itu. Aku sungguh seolah bisa merasakan bagaimana panik dan khawatirnya ia. Entah takut atau khawatir, tapi semua ini jelas membuat gelisah dan tak tenang.
Lagi-lagi kisah itu terulang pada pengalaman sahabatku yang lain, yang sekarang itu Fatma.
Bagaimana tidak membuat resah?
Salah satu hal yang membuatku iri sekaligus terharu adalah mereka masih bisa terlihat tenang bahkan dengan aksen (serta cara berbeda) mengatakan hal serupa: kalau nggak ada, nggak masalah, nggak apa, aku ikhlas. Kalimat yang tidak semua orang bisa mengungkapkannya bukan? Yang membuat mereka gusar hanyalah, “Aku cuma bingung cara ngomongnya ke orang tua.”
Kedua pengalaman sohib tegar ini memberiku pelajaran untuk menghadikan sikap ikhlas untuk apapun. Kalau soal kemana kedua handphone itu, benar sih kita semua penasaran.
Apakah sekolah yang salah karena sistem keamanannya kurang?
Apakah pihak takmir salah karena ponsel itu hilang di mushola?
Apakah kedua temanku itu salah karena tidak menjaga barangnya dengan lebih baik?
Apakah tukang atau salah satu peserta rapat bisa jadi kandidat tersangka?
Tapi biarlah itu menjadi urusan Tuhan, asal di hati sudah meraih rasa ikhlas kenapa harus jadi beban pikiran? Karena sebuah pengalaman adalah pembelajaran bagi semua pihak, maka kesalahan ini adalah proses untuk memperbaiki diri. Benar? Siapa tahu ini adalah jalan untuk menguji teman-temanku?
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? (QS Ar-Rahman : 13)
Bahwa ketika sesuatu menimbulkan pertanyaan, di sanalah kemudian bisikan membawa pikiran negatif, dan memunculkan kekhawatiran, serta bisa jadi berakhir pada kegelisahan. Tetapi yang bisa melaluinya, itulah orang-orang yang ikhlas.
Ahimsa Wardah
Related posts
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Kategori Tulisan
- Berlayar Bersama Bapak (5)
- Coretan dan Refleksi (153)
- Kamar Pemikiran dan Pergerakan (16)
- Lain-lain (4)
- Memaknai Ramadan (11)
- Mencatat Perjalanan (31)
- Mengulas Bacaan & Tontonan (18)
- Menyumbang Gagasan (14)
- Puisi, Cerpen, dan Semacamnya (46)
- Studi, Beasiswa, dan Semacamnya (10)
Terhubung