Cerita baru bersama Mahasiswa National University of Singapore (NUS)

Part of English Department 2017 Family with our sister, Nadia, NUS student.

I am totally in a good condition if you wonder, Friend. If you do not, so how pity I am, ugh muehehe. Alhamdulillah, Allah gives me some marvelous opportunity for appreciating and construing everything which I have achieved. Hopefully, the reason I am writing these are not for showing off a lot of my story, but I intend to be grateful for that.


[Aku dalam keadaan penuh dengan kebaikan kalau kamu penasaran, Sahabat. Kalau ndak, ya kasihan sekali diriku, ugh muehehe. Alhamdulillah, Allah menganugerahkan beberapa kesempatan luar biasa supaya aku mampu memaknai tiap pencapaian yang didapatkan. Semoga kali ini daku menulis bukan demi memamerkan kisah-kisah, melainkan supaya syukurku bisa kukuh menengadah.]

In the name of Allah. As I mentioned above, I have just happened to meet some new friends from NUS. Actually, it was my department’s program organized by Bu Mala, one of the lectures. There were two activites separated into two days, on Thursday (27/9) and Saturday (29/9). My department sent 16 students to join this program, while around 25 students were from NUS. On the first day, we had a chance to watch Ramayana Ballet at Prambanan Temple complex. Then, on the second day, we would have a workshop to interpret the story of ballet.

[Bismillah. Sebagaimana sudah tersebutkan, daku baru saja membangun perjumpaan dengan teman-teman dari NUS. Sebetulnya, ini merupakan program Prodi Sastra Inggris UGM yang dikelola oleh Bu Mala, salah seorang dosen kami. Terdapat dua kegiatan yang dibagi dalam dua hari, yakni pada Hari Kamis (27/9) dan Sabtu (29/9). Departemenku mengirim 16 mahasiswa untuk mengikuti program ini, sedangkan sekitar 25 mahasiswa merupakan perwakilan dari NUS. Di hari pertama, kami mendapat kesempatan untuk menikmati pertunjukan sendratari Ramayana di kompleks Candi Prambanan. Lalu, di hari kedua, kami mengikui workshop untuk berdialog mengenai cerita dalam sendratari tersebut.]

Bu Mala’s copy book!

When watching the Ramayana ballet, the students from UGM and NUS were not in same schedule. We (UGM students) watched the ballet in the afternoon, while NUS students did it in the evening. A few days before, Bu Mala advised us to read a book entitled “Anak Bajang Menggiring Angin” by Sindu Nata. Honestly, until today, I have not finished reading the book. But I am sure that it is exactly a fascinating novel which retells Ramayana story. In that book, we were also explained about the family background of central characters. Usually, the story we get only narrates about Rama, Sinta, Anoman, Rahwana and their actions. But in Sindu Nata’s writing, the central characters have more complex roles.

[Saat menonton sendratari Ramayana, mahasiswa UGM dan NUS tidak berada dalam jadwal yang sama. Kami (mahasiswa UGM) menyaksikan pertunjukan itu kala sore hari, sedangkan mahasiswa NUS saat malam hari. Beberapa hari sebelumnya, Bu Mala menganjurkan supaya kami membaca buku “Anak Bajang Menggiring Angin” karya Sindu Nata. Jujur saja, sampai sekarang, ada beberapa halaman yang terbaca masih kurang. Meski begitu daku bisa memastikan ini buku yang begitu menarik dalam mengupas Ramayana. Di sana, karakter-karakter utama dikupas juga latar belakang keluarganya, yang mana biasanya di cerita pada umunnya hanya memperlihatkan peran Rama, Sinta, Anoman, dan Rahwana. Tapi, dalam karya Sindu Nata ini, tokoh-tokoh tersebut menunjukkan perannya yang lebih kompleks.]

Oh, yes, I do not know whether it is okey or not to be a bit formal to write these words. I hope you get bored, hehe. You know, it is such a practice for me to write formally, InsyaAllah.

[Oh, ya, aku kurang yakin apakah ini tepat atau lepat untuk menggunakan aksen agak formal dalam tulisan. Harapku, semoga bosan tidak jatuh pada pelukanmu, hehe. Tahulah, ini sebuah upaya latihan penulisan formal bagiku, semoga.]

Nabila Hasyim (left), Fithrotul Izzah (right) and I were in front of the place of Ramayana ballet performance.

Then, back to the topic. On the first day, the ballet was extremely spectacular. We were touched because in the beginning the master of ceremony greeted us firstly, “Welcome all students of Universitas Gadjah Mada Sastra Inggris!” It sounded like we were the guest stars in that moment, ups, hehe. But, yeah, the love story between Rama and Sinta could be performed beautifully without any dialogs. There were only Gamelan music and the singers. Two big screens gave explanation about every scenes and they helped a lot. I mean, to clarify what happened and who did the roles we need that kind of explanation.

[Nah, kembali ke topik. Pada hari pertama, sendratari tersebut sangat mengesankan. Kami sangat tersentuh ketika di awal sang pembawa acara menyambut kehadiran kami, “Selamat datang mahasiswa Universitas Gadjah Mada Sastra Inggris!” Rasanya seperti kami bintang tamu di momen itu, ups, hehe. Bagaimanapun, yeah, drama cinta antara Rama dan Sinta disuguhkan sangat indah meski tanpa dialog. Hanya ada iringan Gamelan dan para penyinden. Kami dibantu juga dengan adanya dua layar besar yang menyuguhkan penjelasan untuk tiap adegan. Penjelasan mengenai apa dan siapa yang sedang berperan terkadang memang kami butuhkan.]

After watching the performance, I was involved in discussion with Natrila Femi and Fithrotul Izzah. We’d loved the way the show was put on, yet they both felt disappointed by the character of Sinta. It is not because she did not perform well, but her character did not give good impression. There, we saw Sinta such a childish woman. She was not drawn as a mature and wise lady. Then, on the way going back to faculty, Bu Mala gave us some quizzes. One of them, “Why were there several beautiful dancers accompanying Kumbakarna to the heaven?” The scene she meant was the time Kumbakarna was killed by Laskmana. Muehehe, honestly, I have not finished the whole story. In the absence of idea, I tried to find probability. I said in a long sentence, hehe because I do not know which one of my ideas was the right answer. “He was actually a good one (1), he had miss-understanding with Laskmana, I mean that he was not on the same side with Rahwana (2), he just wanted to save his kingdom, Alengka (3),” those were three answers I gave. And, the last was the true one. Ugh, Kumbakarna should save Alengka, therefore he fought the monkey armies. Yeay! Alhamdulillah. Then, Izzah and Femi also answered the next questions, uww. I was really grateful for that day!!!

[Setelah menonton pertunjukkan itu, diriku terlibat dalam obrolan dengan sahabat Natrila Femi dan Fithrotul Izzah. Kami sangat kagum akan  penampilan yang disuguhkan, tetapi kedua sahabatku itu cukup kecewa dengan karakter yang dimainkan Sinta. Bukan karena acting-nya, melainkan karena karakternya tidak memberi kesan yang baik. Di sana, kami menilai Sinta sebagai pribadi yang kekanak-kanakan. Ia tidak digambarkan sebagai perempuan yang dewasa dan bijak. Lalu, di perjalanan pulang ke fakultas, Bu Mala sempat melemparkan beberapa kuis. Salah satunya, “Mengapa terdapat beberapa penari cantik yang membersamai Kumbakarna menuju surge?” Adegan yang dimaksud Bu Mala adalah saat hidup Kumbakarna diakhiri oleh Lasmana. Muehehe, jujur, diriku belum khatam keseluruhan ceritanya. Karena ndak ada ide, jadilah coba-coba menjawab. Kusebut dalam jawaban panjang, hehe sebab ndak tahu mana jawaban yang benar. “Kumbakarna sebetulnya orang yang baik (1), Kumbakarna mengalami kekeliruan paham dengan Laskmana, maksudku adalah bahwa ia sebetulnya bukan ada di pihak Rahwana (2), ia hanya ingin melindungi negaranya (3),” ketiganya menjadi jawabanku. Dan ternyata yang ketiga adalah yang benar. Ugh, Kumbakarna harus menyelamatkan negaranya dengan melawan tantara kera yang dibawa laskmana. Yeah! Alhamdulillah! Selanjutnya Izzah dan Femi pun menjawab kuis-kuis yang lain. Daku sangat bersyukur untuk hal itu!!!]

Well, that day was passed and the next two days came to me so soon. The workshop was held at Balai Budaya Minomartani, such a cultural centre which one of my lecture has, he is Pak Eddy Pursubaryanto. It was the first time we met the students from NUS. There would be three activities we both should do with our friends in team, namely playing Gamelan practice, discussion, and role-play. I was in a team with Salma Nisrina (UGM), Diana, and Miguel. In the first gathering, I felt so regretful because of coming late to the introductory section. But it is ok then, apparently Diana and Miguel were really friendly. Hehe. We discussed the materials for role-play. In this section, each team should perform a drama which manifested a scene in the modern context. The scene my team got was in that time Rama and Laskmana met Jatayu who had fallen after fighting Rahwana. In the real scene, there were only three characters, but we needed one more role for our team. Who is that? We arranged a story where Jatayu who had a fella (the new character we added) was drawn as FBI agent. He was hit by Rahwana. Then, Rama and Laskmana found him and got the link where Sinta went. That became a funny story I thought.

Well, this is ma team. Okey, well, my face was the darkest one.

[Ya, hari itu pun berlalu dan esok lusa datang segera. Kegiatan workshop hari itu akan diadakan di Balai Budaya Minomartani, pusat kebudayaan milik salah satu dosenku, nama beliau Pak Eddy Pursubaryanto. Di sinilah hari pertemuan kami dengan mahasiswa NUS untuk pertama kalinya. Akan ada tiga aktivitas yang harus kita lakukan dengan teman satu tim, di antaranya latihan bermain Gamelan, diskusi, dan bermain peran. Daku ada dalam satu tim dengan Sahabat Salma Nisrina (UGM), Diana, dan Miguel. Di awal, aku agak menyesal karena terlambat di sesi perkenalan. Tapi semua berjalan baik sebab Diana dan Miguel kesemuanya ramah. Hehe. Kami berbincang soal bahan untuk bermain peran. Katanya setiap tim perlu menampilkan manifestasi drama dalam konteks modern saat ini. Adegan yang didapat kelompokku adalah pertemuan antara Rama dan Lesmana dengan Jatayu setelah ia melawan Rahwana. Dalam adegan asli, hanya ada tiga, tapi kami butuh satu lagi. Siapa ya? Kami menyusun cerita dimana Jatayu dengan temannya (karakter baru yang kami dapatkan) merupakan agen FBI. Sayangnya Jatayu diserang Rahwana. Beruntung Rama dan Laskmana tidak menemukannya, ia pun berbagi cerita mengenai kemana hilangnya Dewi Sinta. Ugh, dipikir lagi ini cerita yang lucu.]

In addition, I also opened interaction with other friends. They are Gorden who likes candy so much, Lini with her cute and childish accent, Nadia who could speak Malay fluently, and many others who I cannot define all of them though I want to do. In the night, we had a role play and it was so amazing. We laughed loudly every time a person on the stage did something funny. Emma, Showin (I do not know how to write her name correctly), Lingga, Alya and Femi gave another special impression about Sinta’s character, hihi. Oh!!! I miss that night! I want to share more than these, but I think it will be so difficult because you have to wait longer and longer and longer which I am not sure when it’ll be finished. Hoho! So, here is it, a brief wonderful story last weekend. Thank you Allah who has taught me about many things.

[Selain itu, daku juga membuka interaksi dengan teman-teman NUS yang lain. Seperti Gorden yang sangat tergila-gila dengan permen luar dalam, Lini yang sangat imut dengan gaya manjanya, Nadia yang sangat lancar cakap Malaisye, dan banyak lagi yang belum bisa kukupas bahkan meski aku mau membuat kebas jariku. Malam harinya, kami bermain peran yang sangat luar biasa. Ruangan itu diisi riuh tawa tiap seseorang di depan berperan begitu lucunya. Emma, Showin (entah bagaimana menuliskan namanya dengan benar), Lingga, Alya, dan Femi menunjukkan kesan unik untuk karakter Sinta, hihi. Hua!!! Kusangat rindu malam itu! Rasanya ingin sekali kuungkap semuanya, tapi kalua dipikir-pikir akan sulit sekali sebab dirimu harus menunggu lebih lama sampai waktu yang tidak ditentukan. Hoho! Jadi, inilah dia singkat cerita luar biasa minggu lalu. Mwahkasih Allah yang sudah membuahkan banyak ilmu yang kemudian kumakan dengan lahap satu persatu.]

Barokah, insyaAllah.

Yogyakarta, 22 Muharram 1440

Natrila Femi, “Take a photo of me, please!”
Salma Nisrina, Icha Skjoldena, Nabila Nurul, Fithrotul Izzah. And me? Behind the cam.
Wenzelando’s team, “Hims, fotoin!”
Thoha the deer, Izzah the police, Gorden as Rama, and Showin as Sinta, ugh. I got this photo from WhatsApp btw, I think.
A sweet candy from Miguel and Diana, ughhh, nak lagi, nak lagi!