Salam, para korban janji! Ups! Bukan ding, habisnya langsung otomatis inget lagunya Guyon Waton kalau baca judul tema OPSI kali ini. Hehehe.

 

Museum Dewantara Kirti Griya, museum yang menggambarkan kehidupan dan perjuangan Ki Hadjar Dewantara

 

Salam, para pejuang sejati!

 

Ada satu kisah mengenai tokoh yang identik banget sama pendidikan dan yang pasti punya pengalaman ninggalke pas lagi sayang-sayange. Beliau yang ingin aku ceritakan di sini adalah Ki Hadjar Dewantara. Jauh sebelum dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, sebelum Indonesia merdeka, sebelum mendirikan Tamansiswa, sebelum semua ini, beliau dikenal sebagai aktivis politik yang gethol mencecar pemerintah Belanda yang waktu itu masih menjajah negeri ini. Bersama Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, beliau mendirikan sebuah partai politik bernama Indische Partij (IP). Aktivitas mereka membuat pemerintah Belanda waktu itu gemas dan sampai akhirnya menendang mereka keluar dari daerahnya. Ketiga tokoh inilah yang akrab kita sebut sebagai tiga serangkai.

 

Dengan pengalaman politik yang sedemikian kerennya, meski pada tahun 1930-an Ki Hadjar sudah mendirikan Perguruan Tamansiswa, masih ada dalam diri beliau keinginan untuk terlibat di ranah politik. Ini dikarenakan suasana waktu itu sedang panas dan membuat beliau tergerak untuk mau berangkat ke Jakarta. Namun, saat itu Nyi Hadjar menahan beliau dengan memberi beberapa pertimbangan soal pentingnya peran beliau di Tamansiswa. Sebab, Tamansiswa lebih membutuhkan beliau, sedangkan urusan politik masih dapat ditangani oleh tokoh-tokoh lain. Pada akhirnya, Ki Hadjar memutuskan untuk merelakan dunia politik yang merupakan ‘kendaraan juang’-nya setelah sekian lama dan lebih memilih berjuang dalam dunia pendidikan lewat Tamansiswa.

 

Huehue, apa coba yang bisa kita pelajari dari cerita Ki Hadjar Dewantara?

 

Terkadang, memang kita tidak bisa selalu mendapatkan apa yang kita mau. Hidup ini bukan sekadar untuk memenuhi segala yang kita harapkan. Oleh karenanya, kita harus banyak berkorban dan merelakan. Kita harus siap meninggalkan sesuatu, walaupun rasanya itu kok ya nyaman banget gitu. Berat, bukan? Mungkin karena itu Allah SWT mengingatkan kita,

 

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 216)

 

Meskipun di awal, ayat ini nampak ngomongin soal perang, tetapi setelahnya membahas suatu hal yang umum dan cocok banget di-highlight. Di dunia ini, apa yang nampak buruk tidak mesti buruk efeknya dan apa yang nampak baik juga tidak mesti baik efeknya. Ayat ini mengingatkan bahwa sebenarnya kita tidak pernah tahu pasti tentang hal-hal di sekeliling kita. Apakah ini baik untuk sekarang atau untuk masa depan? Apakah ini buruk untuk sekarang atau untuk masa depan? Kita tidak akan pernah tahu, tapi Allah tahu. Oleh sebab itulah, kita yang harus terus merapat kepada Allah untuk memohon supaya ditunjukkan shirootholmustaqiim.

 

Nah, tapi, kalau jalan itu berat banget dilalui gimana? Nggak cuma sulit, tapi syulit… syulit bingitz!

 

“Jalan menuju kotaMu tak melulu penuh keriangan, sesekali berbatu dan udara membeku,” kata Asma Nadia. Memang itu kesadaran yang perlu kita bangun. Kalau kita betul-betul ingin menuju (ibaratnya) kota milik Allah yang merupakan seindah-indahnya kota, maka jalan yang ditempuh pun pastinya tidak mudah. Dan itu satu-satunya jalan!

 

Misalnya yang paling sederhana adalah sifat dan kebiasaan buruk, seperti malas, benci, pesimis, dengki, suka bully temen, seneng julid-in orang, dan sebagainya. Asik kan yang begituan sebenarnya? Tapi yaa gimana yaa? Ditinggalin nggak ya enaknya? Uwuwu.

 

Pertanyaannya lagi, kenapa berat gitu sih jalannya?

 

Mon maap, kalau gampang yaa banyak dong yang mau lewat sana. Hehehe. Makanya yang terpilih itu ya cuma beberapa orang yang siap untuk ninggalke jalan-jalan lain pas lagi sayang-sayange demi melewati jalan menuju kota Allah tadi. Apa-apa yang tidak mendukung perjalanan kita untuk sampai ke kota Allah, yaa ditinggalkan aja. Sebenarnya, rasa berat itulah tanda bahwa kualitas diri kita semakin meningkat. Hal-hal yang sebelumnya kita rasa sulit untuk melakukannya ternyata mampu kita hadapi juga akhirnya. Harusnya, sebangga itu kita pada diri yang selalu merasa dihadapkan pada banyak kesulitan. Ini nih yang disebut sama Fourtwnty, “…keluar dari zona nyaman…”

 

Oh iya, teman-teman, terkadang sesuatu yang harus kita tinggalkan dan kita pilih ini nggak selalu hitam putih lho. Kadang kita dihadapkan pada hal-hal yang sebenarnya sama-sama baik, hanya saja ada kondisi yang membuat salah satunya harus dikorbankan. Misalnya amanah ketika kita aktif di beberapa organisasi, tantangannya adalah menentukan mana yang jadi prioritas kita. Pun, contoh Ki Hadjar tadi juga jadi salah satu referensi. Apapun itu, kita harus pertimbangkan dengan masak-masak soal manfaat dan mudharatnya. Manfaatnya besar yang mana? Mudharatnya besar mana? Bukan cuma soal kita sendiri, tetapi juga bagaimana kaitannya dengan orang lain.

 

Yah, gitu sih sedikit hal yang bisa kubagi. Terakhir, sebuah quote yang sudah sampai lumutan sering disebut oleh orang-orang “do what you love and love what you do”, meskipun itu artinya kamu harus mencintai tindakanmu ninggalke pas lagi sayang-sayange. Stay strong, lurd! Allah mboten sare 🙂

 

Yogyakarta, 4 Rajab 1441