Iman adalah pergulatan yang tak pernah memenuhi kata final. Iblis hadir untuk menguji bagaimana ke-Imanan itu bisa goyah. Janji iblis untuk menggoda manusia seperti sebuah misi yang tak pernah mengenal kata berhenti.
—Eko Prasetyo, Kitab Pembebasan, p. 94

Belakangan diriku banyak menyesal dikarenakan mengkal sampai mental-mental. Ini berbuah dari pikiran-pikiran negatif atas tindakan yang dilakukan pribadi lain, huehue astaghfirullohal’adzim. Si fulan bertindak salah, jadinya emosi. Si fulana berlaku payah, jadinya gemas sendiri. Yakduh, padahal aku paham betul kalau hubungan langgeng dengan perasaan negatif tidaklah baik dipertahankan.

Maka, kali ini daku menulis insya Allah bukan untuk memanas-manasi supaya makin sebal dan kesal pada si empunya kesalahan, yang mana malah membuat stres sendiri. Lewat lorong kata-kata kuniatkan untuk melepas beban mengkal itu dengan menjadikannya refleksi—yang merupakan solusi minimal untuk saat ini.

Bismillah,

Singkat berita, seorang bidadari surga yang selalu kusapa dengan “Ibu” mendaftarkan kami berdua dalam suatu program pembelajaran. Uww, ini disebabkan pengetahuan kami yang masih jauh dari kesempurnaan. Hari itu juga aku dan ibu memantapkan hati untuk menyempatkan waktu pagi hari pukul 06.00-08.00 WIB supaya bisa belajar ke tempat perguruan, itu sesuai dengan jadwal yang diberikan. Di sana sudah bertengger beberapa pengajar yang akan menyimak dan menuntun bacaan kami.

Well, pada hari ini aku dan Ibu berangkat kurang lebih pukul tujuh pagi. Seperti biasa, menuju lokasi kami butuh waktu tidak lebih dari 30 menit. Jadi, kira-kira pukul setengah delapan kaki kami sudah menjejak tempat itu di mana masih ada dua pengajar yang sedang menunggu. Mmm, menunggu apa saya sebetulnya tidak tahu.

Ketika kami masuk, pertanyaan Ibunda dengan lembut mengiringi salam, “Pak, masih bisa belajar nggih?” Daku masuk menyusulnya.

Tapi buru-buru aku dilanda perasaan ndak karuan ketika jawaban yang kami terima, “Wah, maaf, Bu, sudah jam setengah 8 é.” Mmmm, sejenak saya bingung, sampai perlahan ada rasa sebal yang menggunung.

Loh? Loh? Masih tersisa 30 menit lagi. Bukankah idealnya, kalimat yang digenakan harusnya, “…masih jam setengah 8…” Lha, ini malah… Uwadawww, yang disebutkan seakan menolak kami punya kehadiran.

Oleh karenanya, ibuku yang punya kebesaran hati luar biasa tinggi pun berpamitan. Untuk melegani dan mengadem-ademi kalbu kami berdua, akhirnya beliau mengajakku untuk sejenak mencicipi segarnya soto buat sarapan. Hehe, asik asik jos, enak enak bos.

Meski begitu, kecewaku belum juga luntur. Hoho. Daku memang belum pernah bersinggungan, atau masih sedikit pengalaman, dengan dunia kerja. Jadi, naik turun semangatnya seperti apa mungkin ya hanya asumsi yang dibayang-bayangkan saja. Tetapi menemui kejadian yang satu ini, rasanya kok gereget sendiri.

Cerita lain, daku mengenal sosok seorang dokter, kenal sekali. Kapanpun dimanapun beliau selalu terbuka kepada siapapun yang menanyakan keadaan diri dan periksa sakit. Walaupun itu di luar jam prakteknya, tapi beliau bersuka cita melayaninya kapan saja.

Pernah juga ada cerita, dokter lagi. Ia adalah pejuang di daerah terpinggirkan dan membuka pos-pos kesehatan gratis bagi warga di sana. Sekali lagi, gratis lho ya. Untuk berpindah dari daerah-daerah yang terpisah, ia menumpangi perahu dan memulai perjuangannya.

Pun banyak cerita juga soal tenaga kesehatan lain, guru-guru, dan sebagainya. Dari sanalah daku belajar bagaimana menjadi pribadi yang ikhlas (masih belajar lho ya, belum sampai terlaksana). Mungkin itu ya tujuan dan motivasi idaman.

Seseorang bilang mau jadi guru, “Itu panggilan.”

Orang lain mengatakan mau jadi dokter, “Sebuah pengabdian.”

Yang satu lagi mau jadi presiden ngakunya, “Ini demi sebuah kepentingan…..” Hoho! Kok ngeri?!

“…., eh,” belum kelar ternyata, “Kepentingan bersama maksudnya.”

Begitulah idealnya bekerja. Bukan karena gengsi, banyak orang memilih pekerjaan itu, gajinya lumayan, atau bahkan sampai berpikir soalnya nggak ada kerjaan lain. Ya Allah, saake tenin. Pekerjaan adalah jalan berbagi kebermanfaatan, yang menjalaninya selalu penuh kelok dan naik turun. Di situlah ujiannya.

Bagaimana kita membuktikan cinta pada pekerjaan bisa melupakan kelelahan? Sampai-sampai kalau orang tanya, “Kamu kok bisa sih bertahan kerja itu? Nggak bosen po?” kita pun jadi bingung jawabnya.

Hehe, terakhir, sebuah kisah yang sebetulnya pernah kuuntai dalam bingkai snapgram. Hasil obrolan membaperkan dengan sahabat Ni’mal Maula.

Alkisah ada seorang “tukang pasang baut” untuk jok mobil yang sangat setia pada pekerjaannya selama kurang lebih 10 tahun. Lalu, seseorang menanyainya, “Pak, nggak bosen?” Hehe, sebuah pertanyaan menggelikan untuk seorang pribadi tangguh seperti beliau, “Ini adalah bentuk pengabdian pada Tuhan, bukan pada perusahaan. Saya bisa memastikan keluarga yang memakai mobil-mobil ini dalam keselamatan (karena baut jok mobil dipasang dengan benar).”

Allohumma, malu ndak sih rasanya? Betapa masih sering mata kita nggak terbuka bahwa setiap upaya seharusnya punya orientasi ke surga. Bosen, ya enggaklah, kan kita punya motivasi besar untuk melakukannya. Mikirin rezeki, ya nantilah, kan Allah yang menjamin semuanya.

Jadi ingat sebuah video yang menyuguhkan kalimat Sujiwo Tejo, “Menghina Tuhan tak perlu dengan umpatan dan membakar kitabNya. Khawatir besok kamu tak bisa makan saja itu sudah menghina Tuhan.”

Oke, well. Para pekerja, para abdi Allah, semoga penuh ikhlasmu dipeluk oleh-Nya. Selamat bekerja!

Yogyakarta, 20 Muharram 1440