Kita berjalan bergandengan,
aku tidak jadi penunjuk jalan,
meski punya kemampuan,
kuatkan tekad demi tujuan,
melihat mendung di hadapan,
kusiapkan payung sebelum hujan,
untukmu dan aku di perjalanan.

___

Lama sudah aku tinggal layar timeline, kering kerontang dari kalimat-kalimatku sendiri. Belakangan banyak pesimis yang menindas hasrat untuk
berbagi. Sampai hari dimana padaku dihadapkan kisah-kisah sosok pahlawan idaman yang air-matanya-harus-berlinang-bahagianya-jarang-bahkan-tubuh-harus-tumbang-dalam-berjuang demi suatu kebaikan, nah kok aku yang ujiannya cuma begituan, keluh kesahnya tiada berkesudahan. Bukannya terasa kebangetan? Aleman tenan.

Nah, maka kuy menulis lagi. Bismillah, wahai rasa pesimis, hus, hus.

_

Kata seorang bijak, “Hidup itu berputar seperti roda. Kadang kita rasakan di atas begitu berada, kadang di bawah saat masalah melanda.” Ugh, begitupun saat ini aku merasa sedang terpuruk, mengenang bahagia kemarin di lubuk, dengan air mata di pelupuk, plus lagu mellow yang mengundang kantuk.

Muehehe, sebagai seorang yang masih sulit mengontrol emosi, pilihanku adalah menyibukkan diri. Hal itu demi memastikan hidupku tidak luntang-lantung meratapi sepi dan sendiri. Maka sering kali di setiap posisi aku sok-sok berani menerima amanah berarti. Halah, hahaha.

Namun sayang sekali, semakin hari masalah terus berganti dan menuntut kenaikan level yang pasti. Tidak di semua lini langsung kutemui kepercayaan diri. Ia bukan jodoh yang bisa datang sendiri, yakduh, melainkan sesuatu yang harus dicari. Tidak semua kelebihan yang sudah kita (anggap) miliki, akan begitu mudahnya diakui. Banyak pribadi lain yang sudah jauh lebih mumpuni tapi sulit mengerti, “Emang ini bocah punya potensi?”

Suatu waktu mikirnya diri sudah lancar jaya idaman segala bangsa untuk mencipta kata-kata, tapi nyatanya juga tidak selalu di setiap masa aku diminta menjadi penulis berita acara. Mikirnya diri pandai gemulai dan lihai jepret-jepret kamera, tapi ndak mesti diberi gawe untuk jadi tukang dokumentasi agenda. Yah, begitulah.

Suatu momen di 2015 yang begitu indah tercipta, saat itu aku menjadi peserta Taruna Melati (TM) I PD IPM Kota Yogyakarta. Pada malam keakraban, setiap kelompok diharapkan mampu mempersembahkan sebuah tampilan kesenian. Hehe, di kelompok aku tua sendiri, agak canggung juga buat diskusi. Selanjutnya, kami putuskan akan mencipta pentas puisi. Satu orang membaca syair penuh, lainnya membahasakannya lewat gerak tubuh. Hoho. Sebab sudah “merasa” sok bisa berpuisi, munculah rasa mau menjadi lakon dalam hal ini. Cuma kan malu mengakui. Hehe. Sampai akhirnya ada teman yang mengajukan diri, sebab dia pun aktif sekali.

Oke, akhirnya niat menjadi pembaca puisi urung terjalani.

Huh, sedih? Perih? Iya, tapi alhamdulillah dan insyaAllah sih emosi tidak mendidih. Hahaha. Paham sekali kondisi saat itu, bakatku memang pantas mencipta ragu. “Bisa apa elu, anak baru,” hehe jelas pada ndak tahu.

Kalau kumenangkan rasa kesal, tentulah penampilan kelompok akan abal-abal. Kalau aku sudah mengkal, tentu hasilnya gagal total. Aku bertahan, tidak keberatan, kulepaskan hasrat kecil pergi perlahan.

Dalam beberapa pengalaman, aku diajari oleh banyak kawan yang memiliki suatu kelebihan idaman. Yakni, menjadi penyedia payung sebelum hujan. Ugh. Meski tidak mendapat perhatian dan belum berkesempatan membuktikan kemampuan, tiada mau mereka acuhkan sedikit kontribusi yang mampu ditawarkan. Mereka sudah siap payung saat berjalan bersamaan, meski tidak diminta oleh yang mungkin membutuhkan. Saat pun hujan, boom! Mereka bukakan demi kebaikan.

Mereka nggak dapet posisi strategis, tapi tetap siap membantu saat kritis. Mereka nggak dapet amanah sedikitpun, tapi ringan bantuannya tanpa ampun.

Aku yang sering bolong-bolong sabarnya tapi jebol-jebol ambisinya, akhirnya mengisi dahaga dengan rasa lega. Ketika seorang sahabat telah dipercaya menjadi penyair di pentas, kuberanikan diri ikut usul gerak tubuh mana yang pantas. Dan sungguh alhamdulillah bebas segala hasrat yang tadi menyiksaku begitu ganas.

Allohu, Allohu.

Bila di lain waktu aku bertemu momen yang begitu mencipta rasa seru, ini tak kalah dengan itu. Sekarang kurasakan betapa sendu dan pilu, oh, begitu rasanya jadi teman-teman yang pemalu menunjukkan rasa mampu. Alhamdulillah, masih sempat diberi kesempatan merasakan. Betapa hebat memang kehidupan. Aku diajarkan bagaimana pandai-pandai menempatkan perasaan.

Kenyataannya, setiap pencapaian yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang tidak hanya diusahakan oleh mereka-mereka yang tampil muka dan berada di atas panggung sana. Lihat ke belakang, ada yang nggak kalah menggeh-menggeh upayanya.

Hehe.

Wahai penyedia payung sebelum hujan, terima kasih sudah membaperkan dengan sebuah pelajaran. Kontribusimu di tiap kesempatan, semoga mendapat balasan. Barakallahulakum.

Yogyakarta, 31 Rabbiul Akhir 1439