TALKSHOW : FILANTROPI UNTUK PEMBERDAYAAN UMAT
Kalian tahu siapa Pak Panut Mulyono? Atau mungkin Pak Haedar Nashir? Pak Abdul Mu’ti? Atau Pak Dato Sri Tahir? Atau Pak Pratikno? Pernah dengar? Atau, yang ini, pernah dengar nama Najwa Shihab? Hehe. Ah, basa-basi banget pertanyaanku. Seenggaknya satu-dua nama beliau-beliau di atas tentu pernah lewat di telinga para sahabat. Iya kan?

Bismillahirrohmanirrohim. Wallahua’lam bisshowwab.

Alhamdulillah, tanggal 1 Maret 2018 yang bertepatan dengan 12 Jumadil Akhir 1439 aku dan beberapa teman (Rofi, Tiwi, Dewi, Tata a.k.a Wawa, dan Lutfhia a.k.a Lupek) diridhoi untuk bolos kelas. Hehe. Eh, jangan dihujat dulu. Prinsipnya adalah, selama diriku mampu mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan di luar kelas (produktif dan menambah kualitas diri), skip kelas sangat boleh dilakukan. Dan pada momen ini aku sangat haqqul yakin akan mendapat gebyuran kesegaran untuk kalbu dan akalku. Yuhu!

Sebenernya acaranya apa sih, Hims? Jadi hari itu, ada acara Talkshow bertemakan “Filantropi untuk Pemberdayaan Umat” uww, mantapkan. Acaranya di Gedung Grha Sabha Pramana (GSP) mulai pukul 08.00 pagi. Dan pembicaranya? Ugh, nama-nama di depan tadi adalah kesemuanya. Kecuali Mbak Najwa, beliau adalah moderatornya. Biar kusampaikan latar belakang apa yang beliau-beliau bawa.

Prof. Dr. Panut Mulyono, M. Eng, D. Eng (Rektor Universitas Gadjah Mada), Dr. H. Abdul Mu’ti M. Ed (Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah) yang menggantikan Dr. H. Haedar Nashir M.Si selaku Ketua Umum PP Muhammadiyah (tapi ternyata beliau juga hadir walau terlambat), Prof. Dr. Dato’ Sri Tahir, MBA (Founder Tahir Foundation), dan Prof. Dr. Pratikno M. Soc. Sc (Menteri Sekretariat Negara). MasyaAllah walhamdulillah. Kalau kata pepatah, “Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui” atau “Sambil menyelam, minum air” hehe. Jelasnya, dalam satu forum, udah sekalian ketemu sepaket tokoh-tokoh hebat dan muantab.

Sedikit soal apa yang mendorong diadakannya kegiatan ini adalah adanya kerjasama yang ingin dilakukan oleh Tahir Foundation, Muhammadiyah, dan UGM dalam pemberdayaan umat. Pihak-pihak main yang terlibat ialah PSKK (Program Studi Kependudukan dan Kebijakan).

Sebelum masuk ke pembahasan, izinkan diri ini bertutur soal kejadian sebelum masuk ke gedung GSP. Aku berkabar mengenai agenda ini sehari sebelumnya, dengan embel-embel gratis kami pun mantap untuk meluncur. Namun kukatakan, ada dua poster. Satunya diminta melakukan pendaftaran, satunya endak. Kalau kuingat-ingat, hanya aku dan Rofi yang segera melakukan pendaftaran. Lah, siapa tau dapet makan? Iya kan? Tapi sampai hari H kami tidak mendapat balasan konfirmasi. Sedang ada keterangan ini dibatasi untuk 200 orang. Lah, kita kehitung ndak ya?

Pagi-pagi sekali, yang niatnya jam 07.00 sudah ke kampus ternyata aku telat. Pukul 08.00 semua sudah berkumpul kecuali tiga orang kecuali aku. Saat sudah ful, kami beranjak ke gedung GSP. Eh, ternyata antrinya banyak. Kutanyai seorang perempuan di depanku, “Mbak ini pakai daftar nggak ya?”

“Iya.”

“Mbak, daftar?”

“Iya.”

“Dapet konfirmasi?”

“Iya.”

Ealah. Njuk piye iki? Masa udah sampai sini nanti digusur. Hoho, nggak lucu. Mana sahabat lain udah bilang, “Ntar pokoknya nek ada apa-apa Ahimsa yo ra.” Uwadaw. Kami sudah memantapkan, “Nggak usah bilang apa-apa kalau nggak ditanya, kan nggak dosa.” Muehehe. Tapi ternyata, Allah baik sekali, lama antrian itu cuma menunggu waktu saja sampai kami di meja-yang-kami-kira-untuk-tanda-tangan ternyata itu meja-untuk-bagi-makanan. Haha, dan tanpa ditanya masing-masing kami diberi satu snack besar dan taraaaaa boleh masuk tanpa hambatan. Aku bingung, “Ini kok kegampangan ya?” Uwww, alhamdulillah. Yah begitulah.

So, next, kita sudah ada di baris depan (meski terpisah oleh beberapa kursi untuk tamu undangan, huh). Ndak apa-apalah. Kapan gitu nanti kita berenam bisa duduk di situ. Ya, kapan? Hehe.

POIN-POIN PEMBAHASAN DALAM TALKSHOW
Susunan acara : Pembukaan, Menyanyikan lagu Indonesia Raya, Sambutan Rektor UGM, Pemutaran video, Talkshow (acara inti), Tanya jawab, Penandatanganan MoU, dan Penutupan.

Pembahasan tiap poin akan kucoba bagi sesuai penyampaian pembicara, bukan berdasar urutan percakapan. Mohon maaf sebab tidak secara keseluruhan tertangkap telinga dan tercerna kepala, sehingga bila tidak maksimal harap maklum.

Bapak Panut Mulyono :
Kerjasama antara Tahir Foundation, Muhammadiyah, dan UGM ini berfokus pada pemberdayaan umat, di antaranya melalui pendidikan. Selama ini UGM sendiri telah memiliki KKN-PPM yang mengirimkan mahasiswa-mahasiswa ke daerah-daerah pinggiran. Melalui kegiatan ini pula diharapkan bisa terkumpul dana bantuan yang lebih banyak demi pemberdayaan umat.

Bapak Abdul Mu’ti :
Sedikit beliau jelaskan mengenai Muhammadiyah selama ini. Sumber dana sesuai hukum Islam di antaranya melalui zakat, infaq, sedekah, wakaf, hibah, dan hadiah. Khusus pada hadiah beliau tegaskan bahwa hadiah yang dimaksud di sini diberikan secara tulus ikhlas, bukan sebab dorongan kemitraan (ta’awun, atau ada maunya). Harapannya kerjasama ini bukan basa-basi atau sekadar untuk mencari eksistensi. Segala upaya tidak hanya soal memberi bantuan uang yang malah menjadi “pelestarian kemiskinan” melainkan lebih banyak melakukan “pemberdayaan dan pembebasan dari kemiskinan”. Yuk, kelompok elit peduli ke orang alit. Pemberian bukan berbasis rasa iba, melainkan rasa cinta (kalimat ini yang bagiku menyentuh sekali). Kemudian beliau sampaikan bahwa dalam pemberian tidak sekadar memberi lalu sudah selesai di situ. Upaya-upaya mendukung fasilitas umat juga penting untuk menjadi fokus kita. Bayangkan, di Indonesia angka kelahiran tinggi, tapi jaminan kelahirannya rendah. Gambaran ilustrasi yang disuguhkan adalah ada orang yang ingin memancing. Kita tidak cukup membantunya dengan memberi kail. Kolam dan ikan seharusnya juga disediakan. Sehingga perlu digarisbawahi bahwa pemberian keterampilan itu penting, tapi wadahnya (atau dalam bahasa beliau yakni ‘ruang aktualisasi’) juga penting. Dalam hal ini, generasi milenial dibutuhkan, pemerintah juga dibutuhkan.

Bapak Dato’ Sri Tahir :
Dari Mbak Nana (panggilan akrab Najwa Shihab) diketahui bahwa beliau adalah orang terkaya ke-5 di Indonesia. Setidaknya bantuan dana yang diberikan beliau pada Indonesia adalah 250 milyar (ini jawaban beliau setelah ditanya, meskipun awalnya ragu menjawab). Membahas soal Tahir Foundation, disampaikan oleh beliau bahwa dana ini dikumpulkan dari keluarga Tahir. Disalurkan untuk membangun kesehatan dan pendidikan. Sebuah motivasi, bahwa seseorang yang mati dalam kekayaan adalah suatu ‘shameful’. Filantropi bukanlah sedekah, bukan cuma-cuma. Jadi tidak boleh ada pikiran, “Apakah sekarang lagi untung atau tidak? Kalau nggak untung yaudah nggak usah dulu,” dsb. Ini adalah komitmen. Hal ini bisa turut mengubah potret konglomerat dan pengusaha besar di mata masyarakat. Hehe di sini ada yang lucu, Mbak Nana langsung melempar pertanyaan, “Memang selama ini potretnya bagaimana, Pak?” yang segera mengundang gelak tawa. Pak Tahir menjawab, “Saya tahu di sini bakal banyak pertanyaan menjebak, tapi saya suka dijebak.” Uww. Lalu soal kerjasama ini, salah satu fokusnya adalah perluasan lapangan kerja yang basis awalnya adalah pendidikan, ini melihat lulusan S1 yang kerjanya belum maksimal. Jadi sasarannya tetap generasi milenial. Dan perlu diingat, teknologi informasi dan komunikasi bisa menjadi jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, maka universitaslah yang bisa menjadi jembatannya.

Bapak Pratikno :
Charity is giving, filantropi is doing. Salah satu sasaran kita adalah pemberdayaan ekonomi umat. Dan melihat mahasiswa punya potensi sebagai pemimpin, maka peran perguruan tinggi untuk memberdayakan merek sangatlah dibutuhkan. Program yang mungkin bisa digalakkan di antaranya adalah entrepeneurship (kewirausahaan). Saat ini kewirausahaan di kalangan muda masih rendah. Maka bisa dioptimalkan melalui berbagai hal, seperti gelanggang mahasiswa sebagai wadah berkarya, koperasi, dsb. Pemerintah akan bekerja keras, kadang bukan starts from zero, tapi starts from minus. Efisiensi pun harus diusahakan.

Alhamdulillah. Kurang lebih begitu. Sebetulnya masih ada beberapa pembahasan yang disampaikan Bapak Haedar Nashir, namun saat itu aku sedang fokus menyusun pertanyaan dengan Rofi, jadi tidak maksimal menangkap penyampainnya beliau. Maafkan.

MIMPIKU TERBANG KE LANGIT
Sebagaimana sudah kuselip di atas, aku menyusun pertanyaan dengan Rofi. Sebab ini momen besar, kupikir akan sangat deg-degan. “Rof, tanyanya barengan ya. Ntar aku angkat tangan, tapi majunya bareng. Kalau ditanya ntar bilang ‘Kalau sendirian, grogi, hehe'”. Hahaha.

Nah, pada saat dibuka sesi tanya jawab, aku mengangkat tangan. Tapi apalah daya sebab yang ditunjuk di bagian tempat dudukku adalah orang lain. Eh, ternyata saat kulihat-lihat rupanya dia sahabat Ulhaq dari Prodi Pariwisata, teman Ospekku sendiri. Yah. Haha, ndakpapa lah. Dua yang lain adalah seorang ibu yang menyarankan diadakannya pendidikan bahasa Mandarin dan yang kedua adalah seorang perempuan muda aktivis pendonor ginjal. Keren-keren sekali.

Kecewa pula sebetulnya belum mendapat momen baik melakukan percakapan dengan tokoh-tokoh besar. Kepalaku menyusup ke masa lalu. Oh, hei, di ruangan ini juga. Aku ingat! Kala itu bersama sahabat-sahabat MWJC (Muda Wijaya Journalistic Club) menghadiri acara Talkshow yang mengundang Pak Karni Iyas. Ingat sekali aku ada di pojok tenggara. Aku mengacung-acungkan jari untuk bertanya, tapi tidak juga mendapat respon baik. Mengingat itu, rasanya lucu. Menyenangkan sekali. Dan kenangan itu kembali, pengalaman itu terulang lagi. Aku tidak mendapat kesempatan bertanya.

Allah, jangan sampai aku masuk pada golongan orang yang lupa bersyukur. Bisa berada dalam momen-momen seperti ini, belajar dan mendengar plus diberi makan gratis wah kurang bahagia apa. Maka, tentunya alhamdulillah.

Sambil sebuah mimpi kulihat menggapai langit-langit GSP, lalu ditembusnya atap gedung itu. Dia terbang, hilang. Apakah mencapai ridho-Nya? Apakah aku mampu? Apakah suatu kali aku akan kemari lagi dengan sesuatu yang baru? Biidznillah.

Yogyakarta, 21 Jumadil Akhir 1439