Laa haula walaa quwwata illaa billah. Segala yang mendukung peningkatan saya asal muasalnya hanya dari Allah. Maka nggak bisa dipungkiri untuk mengucap ‘alhamdulillah wa syukurillah’.

Hehe. Ada cerita apa lagi ya mengenai  persiapan PPSMB UGM 2018?

Sebelumnya boleh ya saya mengungkap rasa sesal yang begitu berjejal di kalbu? Pada intinya saya menyesal betul-betul karena semenjak awal hari tidak mengambil banyak kesempatan untuk ikut ‘bonding’ dengan teman-teman satu cluster, dalam hal ini Cluster Medika. Sekali saya bolos, kedua kali memang ada urusan genting. Padahal momen itu adalah salah satu media berkenalan dan pedekate dengan sahabat yang lain.

Menyesal? Jelas. Tapi berhenti hanya pada penyesalan nggak cukup. Perlu lebih besar usaha saya untuk membangun hubungan secara lebih serius setelah itu dengan sahabat-sahabat.

Dan, qadarullah, ada suatu momen dimana luang waktu saya untuk turut serta dalam bonding gugus Hari Sabtu-Ahad lalu, 21-22 Juli 2018. Kebetulan kami dipersilahkan oleh sahabat Puspa Ayu untuk mengenakan rumahnya di daerah Srandakan, Bantul. Yeeee, enak! Selain sebab rumahnya bagus, hehe, juga karena suasana yang jauh sekali dari kota. Lumayan untuk rehat biar spirit kembali sehat.

Walhasil kami gugus Sardjito, walaupun ndak full team, ya lumayanlah bisa menuai momen keakraban. Tidak hanya antar co-fas, tetapi juga divisi lain seperti keamanan yang diwakili Bapak Fikri, medis yang terdiri dari sahabat Titi dan Bunda Wahyu, PSDM yaitu sahabat Zaid, DDD yaitu Mas Wagim. Beberapa divisi lain sayangnya belum bisa turut serta. Tapi ndak papa, sampai berjumpa di momen barokah selanjutnya!

Sabtu sore saya ndak bisa membersamai rombongan karena ada kabar duka yang meminta diutamakan. Alhasil, kira-kira pukul 17.00 WIB saya dan sahabat Cahya Amelia yang beruntungnya mau direpotkan untuk terlambat bareng. Kami berangkat dari rumah saya. Pada saat sahabat lain usai menjalankan ibadah Maghrib, langkah kami telah menapak di rumah Puspa. Jadi tidak terlalu banyak tertinggal agenda.

Hari itu, setelah aktivitas isi ulang iman lewat sholat dan isi perut lewat makan nikmat, kami pun mulai berkegiatan. Sebab ada beberapa sahabat baru, akhirnya dibukalah sesi perkenalan. Terkhusus kepada sahabat Titi dan Bunda Wahyu dari Medis, serta sahabat Fia Purnama yang merupakan pindahan dari gugus sebelah. So, welcome my fellas! Hehe.

Setelah itu, agenda malam diisi dengan game-game seru. Pertama, ada tebak kata dan kalimat, tebak karakter orang, dll. Untuk kelompok yang kalah, mereka diminta bernyanyi. Dangdut, jelas. Apalagi yang kalah selalu kelompok milik sahabat Lilis dan teman-teman, jadi malah keasyikan dihukum daripada nge-gamenya. Keseruan malam itu dipandu oleh sahabat Nafi dan sahabat Wempi. Menggemaskan sekali.

Malam itu nggak selesai di sana. Kami melanjutkan momen romantis itu dengan bakar jagung dan sosis bersama. Enak! Awalnya saya bertahan dengan tetek bengek mengupas dan membakar jagung. Sampai akhirnya saya dialihkan oleh nada-nada yang melintas, deretan irama yang menggiring kalimat-kalimat indah Sapardi Djoko Damono menerabas dinginnya malam.

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…”

Lagu itu dinyanyikan oleh sahabat Andre yang jemarinya akrab sekali berkawan dengan papan keyboard milik sahabat Puspa. Sekali kami menyuguhkan lagu apa, cepat ia tangkap nadanya. Sekali kita minta, langsung dia sambut dengan suara emasnya. Dan saya, langsung tergerak berpindah haluan dari jagung ke keyboard untuk menyimaknya. Apalagi ini Sapardi! Sang pecinta yang jujur dan lugas sekali!

“…dengan kata yang tak sempat
diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu.”

Yang lainnya juga merasa tersanjung dengan permainan keyboardnya. Kami memutari papan itu sambil memproduksi suara terbaik versi kami masing-masing. Percayalah, setiap kami, atau setidaknya aku sendiri, merasa malam itu suaraku bagus sekali saat bersenandung. Padahal bukan karena memang suaranya bagus, melainkan sebab telinga saya menikmati suara keyboard Andre yang membuat diri tidak sadar akan buruknya suara sendiri. Hihi. Jadinya begitu. Di sanalah saya, sahabat Nafi, sahabat Amel, sahabat Eillen, sahabat Lilis, sahabat Jay yang megang gitar, dan lain-lain, banyak lagi. Asyik, merasuk. Satu poin yang saya syukuri di tengah orang-orang yang berlatar belakang teknik, farmasi, psikologi, geografi, fisipol, dan lain-lain yaitu bahwa ternyata kita semua bisa diikat dalam satu perasaan begini. Perasaan ekspresif. Perasaan yang tertuang dalam kata-kata, meskipun dalam hal ini lirik lagu. Inilah sastra. Dan, entah bagaimana saya bangga, jujur saja.

Baru saya ketahui juga sahabat Andre menyimpan catatan-catatan di blognya. Saya bayangkan, wah, anak teknik sempat juga berkarya. Pikiran saya bilang, duh, kalau saya kalah, tentu, malunya!

Yaaaa, malam itu panjang sekali rasanya. Saya cukup puas, alhamdulillah. Saya mulai beranjak tidur setelah sekali menuangkan perasaan pada pukul 01.30 WIB kira-kira. Entah akhirnya mata dapat terpejam jam berapa. Samping kiri saya sahabat Eillen, samping kanan saya sahabat Saskia selaku koordinator teknis. Kami para kaum hawa terlelap di dalam rumah, sedangkan bagi kaum pria telah membangun dua buah tenda di luar sana. Dingin padahal, ugh. Sebagian tidur, sebagian terjaga sampai fajar juga.

Paginya, saya dibangunkan oleh Allah sekitar 5 menit sebelum adzan. Rupanya sahabat Huda sudah bertengger di dinding samping kasur saya dan mengaku sedikit sekali bisa tidur hingga akhirnya menyibukkan diri bermain ponsel. Sempat saya curi-curi kesempatan untuk terlelap sedikit, tapi kemudian segera bangkit sebab beberapa teman lain mulai beranjak. Saya kan ndak mau ketinggalan ambil air wudhu. Segeralah kami berbondong-bondong menuju tempat peribadatan. Tempat paling romantis yang saya rindukan; masjid. Dua rakaat kami penuhi di sana. Rupanya setelah itu, di masjid ada sesi bagi dua pribadi asing yang salah satunya diakui berasal dari Sri Lanka. Mereka berdua kalau tidak salah akan berpamitan karena telah beberapa hari diizinkan membersamai jamaah kampung sekalian.

Saya tidak terlalu banyak menangkap kalimat beliau. Kebetulan pribadi di samping saya, seorang ibu yang ramah sekali, mengajak ngobrol soal banyak hal. Cerita soal keluarganya, pun sampai memuji sahabat Puspa yang memang (aamiin) cantik luar dalam. Di akhir obrolan beliau sampaikan, “Nanti bilangin Mbak Puspa tadi habis ngobrol sama ibunya Mas Kris gitu.” Saya tersenyum curiga. Eh, hehe, nggak ding. Sekadar pikiran kecil yang mengada-ada, “Wah, jangan-jangan ini pendekatan calon mertua.” Hahaha, lucunya.

Yuhuuu. Begitulah pagi itu dimulai. Penuh rasa tidak sabar, “Habis ini ngapain lagi ya?”

Ternyata oh ternyata, tanpa menjadi rencana, kami memutuskan untuk menikmati Pantai Kwaru. Ini atas usulan dan bujukan sahabat Fikri Rafif, pribadi yang oleh sahabat lain diberi cap mirip dengan balon ikon toko cat Wawawa. Hehe, sabar ya, Fif. Ok, back to Kwaru, pantai yang hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk dicapai dari rumah Puspa. Menyenangkan rasanya! Memuji keagungan-Nya! Kutemukan sahabat-sahabat menikmati suasananya dengan mengabadikan gambar, sebagian berbicara dari hati ke hati dengan alam, pun ada juga yang ngobrol asyik dengan latar hutan cemara. Saya sempat terjun juga dalam obrolan dengan sahabat Zaid dari PSDM, sahabat Andia yang pandai sekali berbahasa Arab, sahabat Jay yang receh dan menghibur betul. Entah bagaimana mereka membahas soal pemakaian nama marga di keluarga dan membuat saya tertarik menyimaknya. Hehe, pada intinya, saya menemukan banyak celah-celah pendekatan yang menghantarkan impuls kebermanfaatan juga.

Jujur saya termasuk yang nggak akan rela kalau hubungan dekat dan akrab begini sekadar berakhir pada PPSMB esok. Saya jelas ndak mau. Saya mau silaturahim ini sama-sama bisa menggugah sampai waktu yang ending-nya belum bisa kita tentukan, semoga. Aamiin.

Setelah ini saya bercita bisa berbagi dengan mereka tanpa canggung lagi. Sahabat-sahabat yang tiada duanya. Ditunggu saja ya! 🙂

Yogyakarta, 12-13 Dzulqa’dah 1439