Di bawah rindang pepohonan kampus, melalui celah daun-daunnya yang tinggi tak teraih aku mengupayakan untuk bisa menangkap wajah langit. Dia malu-malu, hingga memilih disembunyikan oleh awan-awan kelabu. Karena tidak tega memaksa-maksanya menampakan wajah, kupilih memejamkan mata dan hanya menikmati hembusan napasnya.
Lalu, dalam hitungan menit yang sangat terbatas, kami bicara tanpa kata.
Jalan setapak yang hanya sekejap terlewat, itu selalu menjadi momen terhebat yang mampu mengisi ulang semangat.
Jalan setapak yang selalu aku lalui. Dari bangku tempat aku menjadi kaku kepada rumah-Mu yang begitu terindu. Bagian samping kanan kirinya dipenuhi rerumputan yang sengaja ditanam untuk menambah kesan sejuknya alam.
Jalan setapak itu yang menjadi fase istirahat sejenak untuk beberapa detik mengesampingkan beban. Aku selalu merindukannya. Selalu bersemangat melaluinya.
Kerap aku berseru pada satu dua tiga atau siapa yang membersamaiku, “Senang saja rasanya. Berasa kaya lagi jadi artis video clip, berasa ada yang nge-shooting. Saking anginnya enaaaaak banget!”
Hehe.
Lagi mulai ngetik posting-an ini, di ruang pergerakan.

Yogyakarta, 5-6 Shafar 1439