Aku pernah mengalami saat kalbuku terisi beban cinta.
          Sungguh, benar-benar menyakitkan sebab terlalu mencintai dunia.

          Jujur saja, cinta dalam awanganku dulu dan sekarang mungkin memiliki perbedaan. Umpama (yang mungkin sedikit berlebihan) adalah sebelumnya aku disodorkan sebatang emas emas yang begitu sulit untukku mengalihkan pandangan dari silaunya. Sedang sekarang saat emas itu terjatuh dari jemariku, silaunya hilang dan memperlihatkan hal-hal semu yang tak kutemui selama ini. Aku tersadar bahwa emas bukanlah kekayaan yang aku inginkan. Jiwaku berhasil memberontak dan membebaskan diri dari kerangkeng surga dunia yang membuaiku selama ini.

          Benar, aku pernah jatuh cinta dan sulit untuk berpaling melangkah menghindarinya. Sajak cinta yang mendayu-dayu tak henti-hentinya membuyarkan kekosongan hatiku. Tawa-tawa malaikat yang mengolok-olok karena jerat kelembutan kisah dua insan yang saling melabuhkan perahu kasihnya.
          Itu aku, bersandar pada sesosok manusia yang ingin kujadikan penopang dan kawan hidup untuk selamanya. “Kamu yang terakhir,” kataku yang dengan malu-malu kusampaikan via kalbu.
          Kadang-kadang aku memikirkan berbagai masa yang akan datang, berangan-angan dalam imajinasi dan harapan, mengukir sandiwara masa depan dalam kepalaku. Sungguh-sungguh ingin menjadikan lelaki itu cinta pertama dan terakhirku. Aku berpikir seperti itu. Bisikan-bisikan yang tanpa sadar bergumam dalam  benakku, bahkan aku sampai mengira bisikan itu dari diriku sendiri. Mereka merayu dan membuatku terlena, aku terus berpikir bahwa kisahku dan sang pujaan hati adalah segalanya yang aku inginkan.
          “Halah, nanti juga paling putus.”
          “Hati-hati, jangan-jangan bukan jodoh.”
          “Bisa aja lho nanti dia suka yang lain lagi.”
          Memang sih, aku banyak mendengar fakta dan isu-isu mengenai labilnya lelaki yang masih muda. Belum lagi seruan teman-teman yang sebenarnya bercanda, tetapi terdengar seperti “pencerahan” sebelum jatuh terlalu dalam. Entah isu tersebut membicarakan tentang kelakuan mereka ataupun tentang pendirian mereka yang masih belum dapat memantapkan hati pada satu wanita sebagai kekasih akhir hayatnya. Tapi masa bodoh, aku sudah mengenal pujaan hatiku lebih dari siapa pun, aku tahu ia berbeda dengan lelaki lainnya. Entah mengapa aku bisa sepercaya itu, ada sesuatu berbisik meyakinkanku. Aku percaya penuh di dalam pikirannya hanya akan ada aku sampai kapan pun.
          Tiap waktu aku merasa akulah orang paling beruntung untuk dicintai olehnya, aku sangat bangga untuk menunjukkan kami di hadapan orang lain.
          Hingga tiba kami berdua pada suatu titik dimana rasa jauh mulai menyergap ruang di antara kami. Kelelahan dalam kerinduan memunculkan keputusasaan. Seolah-olah kenangan cinta masa lalu sedikit tersingkirkan dari ingatan, membuat keteguhan dalam hati meluntur dan hancur. Sisanya hanyalah diri kami sendiri-sendiri dalam jalan cinta yang berbeda.
          Awalnya masih ada keangkuhan yang mengisi jiwaku. Harapan khayal menggangguku, bahwa ia akan tetap mempertahankan hatinya demi jarak jauh yang mungkin suatu saat akan mampu kami tepis. Sayangnya, keyakinanku dulu bahwa hatinya selalu hanya untukku, itu hanyalah apa yang aku ingini, hanyalah ekspektasi. Tidak begitu lama setelah perpisahan itu, genggaman tangannya sudah dimiliki gadis lain, kalimat rayuannya sudah menjadi hiburan orang lain, bukan aku.
          Lalu, apa sebab aku masih menyimpannya dalam hati?
          Aku kini seolah melihat wanita sebagai pihak yang sulit untuk mengubah haluan perahu kasihnya. Ya, aku melihat diriku sendiri terbenam dalam cinta itu sendiri.
          Pernah suatu kali aku berpikir untuk bangkit dari keterpurukan, kuharap ada sosok lain yang mampu menjadi penopang untuk hatiku yang sedang rapuh. Agar juga dapat kuperlihatkan kepada pujaan hatiku yang lalu bahwa aku mampu lebih bahagia bersama orang lain, aku mau melakukannya. Tapi jiwaku yang terseok-seok itu menyadari bahwa itu ambisi dendam, bukan ketulusan untuk bangkit dari keterpurukan. Sehingga aku hanya berusaha menjumputi kepingan rindu yang tersisa dalam kesendirianku.

          Saat ini, aku memiliki pendapat lain tentang cinta. Hal itu lebih seperti daya tarik yang merupakan salah satu penanda masa pubertas. Tidak lebih dari itu.
          Aku bukannya bangkit dari keterpurukan, tapi aku bangun dari kebutaan yang melandaku sejak cinta itu datang. Sebenarnya aku tahu itu bukan cinta, lebih cocok disebut nafsu, tapi menggelikan jika kusebut seperti itu. Aku pernah mencintai dunia dan itu terasa begitu menyakitkan, aku harus tergopoh-gopoh demi mendapat penopang hidup lagi.
          Cintaku pada dunia yang fana di masa lalu, aku tahu itu hanyalah sajak buatan syeitan yang menggodaku hingga akhirnya terlena tak menentu.
          Dari perpisahan dengan lelaki yang dulu merupakan pujaan hatiku, aku memang sempat merasa merana dan sedih. Saat itu seolah aku berada di jalan buntu, namun sebenarnya tidak, hanya saja mata ini tertutup dan menyembunyikan banyak jalan terang. Tapi kini aku telah mampu keluar dari sebuah lubang kegelapan, aku melihat betapa masa laluku yang penuh buaian cinta hanyalah iming-iming dunia yang tak mampu menjadi penopang hidupku, semua itu ialah hal fana. Sang Maha Cinta memperlihatkan kekuasaan-Nya dengan menganugrahiku hidayah untuk dapat melihat keberadaanku sebenarnya. Allah swt. menunjukkan padaku bahwa Ia mampu membolak-balikkan perasaan manusia, bahkan lebih mudah dari sekedar membalikkan telapak tangan.
          Selama itu aku berada dalam siksaan buaian para syaitan, tergoda nafsu, sampai-sampai apa yang aku ingini malah menjadi apa yang aku yakini.
           Sungguh, sujudku tak dapat kutahan, air mata bercucuran menyambut kesadaran, “Bila aku tak mampu melihat kuasa-Mu ini Ya Rabbi, bukankah aku sudah amat tersesat?”. Aku membayangkan diriku yang terpuruk, bila aku mengambil jalan dendam dengan mengemis cinta yang lain, boleh jadi nanti aku menjadi piala bergilir untuk banyak lelaki. Pada akhir hidup mungkin aku bertanya-tanya siapa yang terakhir, dan aku hanya menjadi makhluk yang bingung.
          Namun mata ini terbuka untuk melihat jalur yang sesungguhnya, inilah aku, yang mencintai Dzat yang kasat mata, Tuhan Semesta Alam, Cinta Sejatiku. Sungguh baru kusadari Dia-lah tempatku bergantung dalam hidup. Bagaimana aku mampu menduakan-Nya dengan cintaku yang lebih untuk sesosok makhluknya?
          Suatu saat Sang Maha Cinta kan mempertemukan jiwa kamiโ€•aku dan kawan hidupku yang sesungguhnya. Ketika masing-masing dari kami telah melewati jalan indah sendiri demi membentuk jati diri terbaik untuk teman hidup kami, saat itulah waktu yang tepat yang akan diberikan oleh-Nya. Seorang pangeran yang melantunkan risalah cinta sesungguhnya padaku, suatu hari.

“Aku mencintaimu. Itu sebabnya, aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.” (Kutipan Puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Dalam Doaku, menggambarkan betapa cinta yang sejati dan mulia adalah mengenai keikhlasan kita mendoakan, bukan sekedar pernyataan)