Kisah 1001 Fajar
Coretan dan Refleksi

Rumah-Mu

Sejujurnya masih sulit sujudku untuk mencapai kesempurnaan. Apa yang disebut-sebut orang sebagai khusyuk, akupun masih jauh dari sana (meskipun sebenarnya bagaimanakah khusyuk itu, aku pun kurang tahu, huhu). Menciptakan ihsan di dalam sholatku, duh, begitu susah. Ampuni aku.

Tapi momen ini ijinkanlah dengan iman dan kemampuan yang begitu miskin, ingin kuserat sebuah pikiran sederhana yang muncul pada suatu waktu. Itu pada ibadah Ashar di mushola fakultas. Kalbuku serasa teduh, meski sedang jauh. Hehe.

Aku pernah membaca sebuah komik, yang aku lupa judulnya sayang sekali, bercerita soal sebuah masjid sekolah yang hendak dihancurkan. Pihak sekolah yang berkeputusan, dengan dalih karena sudah tak termanfaatkan. Ya, memang, hanya sebagian (kecil) anak yang masih mau hadir dan beribadah di sana. Sedikit sekali. Dua laki-laki, dua perempuan. Ditambah seorang lelaki lagi, yang kebetulan nggak dekat dengan yang lain, kebetulan ketua OSIS. Masya Allah.

Bahkan kepala sekolah sendiri (atau wakaseknya, mungkin, maafkan kulupa) sudah berencana menjadikan kawasan itu sebagai kantin tambahan. Sebuah kalimat yang masih membekas dalam ingatanku, si Bapak berkata, “Istri saya udah nyiapin jajanannya.”

Siswa-siswi yang sedikit itu, yang entah bagaimana telah terikat batin dengan bangunan masjid, segera berinisiatif melakukan sesuatu. Harus ada yang dilakukan. Harus!

Mulai dari mengajak teman-teman dekat mereka ke masjid. Sholat dhuhur, sholat dhuha, mungkin juga sholat tahiyatul masjid. Hahaha. Nggak ding. Intinya ngajak ke masjid.

Dan… responnya? Sudah bisa dibayangkan.

“Aduh, aku nggak pernah ke sana nih. Maluuu…”

“Aku nggak biasa sholat, maaf ya…”

“Duh, ke masjid ya? Hehe,” terus nyelonong kabur.

“Eh, emang di situ ada masjid?” Nah loh!

“Oh, itu masjid?” Duh!

Sulit bingit membuat batin melilit. Lalu sempat mereka melobi pihak sekolah. Kena usir penjaga sekolah lah, dan lain-lain. Sejujurnya dalam perjuangan mereka ini, aku masih ragu dan tidak ragu dengan si Ketua OSIS. Sosoknya antara mendukung dan menyerah, nggak tahu lah.

Intinya perjuangan mereka begitu berat menurutku.

Hingga begitu pedihnya harus ditutup pada penerimaan. Masjid harus tetap diruntuhkan. Begitu keputusan sekolah.

Tapi, jangan anggap perjuangan mereka hanya sebuah kesia-siaan. Nggak sama sekali. Dari sekian juta manusia yang mereka ajak menuju masjid, setidaknya satu dua tersentuh batinnya. Mereka datang, menyapa dan melihat ada apa. Meski itu di akhir-akhir sebelum hari yang menyedihkan.

Mereka akhirnya menutup cerita dengan kerja bakti membereskan masjid. Membersihkan. Merapikan. Menyelamatkan beberapa barang. Menemukan juga. Hehe, menemukan banyak hal di dalamnya.

Sarung, mukena yang sudah lama. Sajadah. Juga album foto. Ah, ini bagian menyentuhnya. Beberapa dokumentasi kenangan masjid. Apa yang sudah terjadi di sini. Ternyata banyak!

“Lho? Ini foto kepala sekolah yang dulu!” seru seseorang.

Dan di foto itu tersimpan sebuah pesan pendek (seingatku) di bawahnya, “Masjid ini semoga bisa menjadi wadah kebersamaan kita.”

Lalu mereka sebuah menumpahkan air mata. Akhir cerita, masjid dirobohkan.

Ugh, begitu sedih, begitu perih. Begitu menyentuh ketika ingatan itu mencapai kepalaku dalam sebuah sujud sore itu. Di mushola fakultas. Segera banyak cerita melesat begitu dahsyat. Iya, benar! Masjid, mushola, rumah-Mu, ya Rabbi.

Di sini, di rumah-Mu, terbuka ruang-ruang baru. Lewat masjid kampus aku bertemu banyak pribadi lain, dari manapun asalnya. Sedikit banyak bertegur sapa. Padahal di lain momen entah kapan kami bisa berkenalan.

Di fakultasku saja, mungkin aku akan lebih sering bertemu dengan anak-anak jurusanku, Sastra Inggris. Sebab kami banyak waktu bersama. Di kelas, di kantin. Sedang dengan jurusan lain? Begitu jarang, begitu kurang. Maka mushola fakultas menjadi salah satu tempat romantis untuk kami bersua. Awalnya cuma sering lihat, lambat laun berjabat. Oh, hai, dari jurusan apa, namanya siapa, asli mana, dan lain-lain. Aku baru berpikir, oh iya, kapan lagi kami begini?

Lalu ingatanku sampai kepada masa SMA di mana yang namanya teman dekat mungkin lebih banyak bila kita berada di kelas yang sama. Atau organisasi atau komunitas yang sama, atau event yang sama paling tidak. Selain itu, ruang interaksi akan lebih sedikit. Tapi lagi-lagi mushola menjadi salah satu jawabannya. Kami bertemu di tempat wudhu, saling mengantri, tersenyum saat berganti-ganti mukena. Pinjam meminjam, kalau beda kelas nanti janjian akan dikembalikan lewat teman lain, si ini, si itu. Lalu saat sholat berjamaah, ribut-ribut dulu, “Kamu aja imamnya.” Dua-duanya nggak mau. Dilempar lagi kepada yang barusan selesai wudhu, tapi katanya, “Lah, aku nggak bagus hafalannya.” Kemudian bingung dan malah ketawa-ketawa karena nggak ada yang maju. Kadang yang senior pun juga ragu-ragu kalau diminta maju. “Malu!” serunya. Sampai akhirnya ada seorang pahlawan tanpa tanda jasa yang mungkin berkenan membantu. Ah, begitu!

Lalu di masjid kampung juga yang kebetulan terletak di lokasi strategis. Nggak cuma ramai oleh orang kampung, tapi juga para wisatawan yang ingin lelahnya ditampung. Ibadah kemudian leyeh-leyeh sebentar. Kadang ketika barusan datang, bingung bagian tempat wudhu laki-laki dan perempuan letaknya dimana, bertanyalah pada warga di sana. Kadang bingung tempat mukenanya dimana, tanya lagi sebagai usaha. Tanya arah, tanya lokasi, tanya tempat beli rokok terdekat, tanya nomor telepon juga mungkin, hehe. Pernah suatu kali seseorang kehilangan barang, yang heboh sekampung itu, dibantu mencarikan, menghubungi pihak berwajib. Lalalala yeyeyeye. Ada kegiatan pengajian kadang ikutan kalau kepasan, ada tadarusan pun juga, “Ah, sebelum pulang, ikutlah sebentar.”

Masya Allah. Begitu romantisnya rumah-Mu. Kenapa kadang diri ini tidak sadar? Kenapa sering diri ini kau panggil tapi terkapar? Lalu aku memilih membenamkan wajah dalam tangkupan dua telapak tangan, yang kemudian basah.

Jalan menuju-Mu begitu bersinar
Penuh nikmat dan terang berbinar
Sayang, pandangan kita sering nanar
Melihatnya serasa kesulitan begitu besar
Padahal asal mata batin terbuka lebar-lebar
Kebahagiaan ruhani dari sana banyak terpancar

01.43 WIB

Yogyakarta, 8 Shafar 1439

Note : semoga aku bisa segera menyuguhkan judul komik itu. Rindu!

Menara Masjid Kampus UGM

Related posts

Sobat, My Little Brother.

Ahimsa Wardah
9 tahun ago

Hujan Pun Memuji Penciptanya

Ahimsa Wardah
8 tahun ago

Deeply I Hope, Penafsiranku Salah Semata

Ahimsa Wardah
6 tahun ago
Exit mobile version