Boleh nggak sih bermimpi?

Pertanyaan kampungan tuh. Jelas kan ya, untuk apa hidup tanpa mimpi? Lebih baik kau mati. Waduh, ngeri ini. Astaghfirullah. Hehehe. Bukan begitu sih pembahasan entri ini sebenarnya. Tapi kalimat barusan hanya untuk menyalakan sumbu agar semangat untuk bermimpi kita tidak padam. Mmm, lalu bagaimana ya dengan mimpiku sendiri?

Aku menyimpan mimpi besar.

Sedikit mainstream sih. Tapi asal itu kuyakini jadi mimpiku, kan it’s not a fault.

Mimpi besar yang sudah sangaaaaaaaaaaaat lama kusimpan (Mohon jangan dimasukkan ke hati kalau Anda terluka sebagai pengamat kata baku). Sebuah keinginan yang semenjak kecil aku idam-idamkan dan sempat berada di hadapan, tetapi ternyata nyaris saja, benar-benar nyaris kuraih, tapi sudah keburu menjauhiku. Apa itu?

Aku ingin ke luar negeri, mm, Eropa, Amerika.

Dipikir-pikir, wah, kenapa cenderung Barat ya? Hehehe.

Nggak punya duit sih. Boro-boro ke luar negeri, ke luar pulau aja paling cuma study tour ke pulau sebelah. Boro-boro lompat benua, pesawat aja cuma pernah disapa, belum pernah dinaikin. Hmmm. Jadi satu-satunya penyelesaian andalan untukku adalah dengan ke luar negeri dan dibiayai gratis (kalau bisa plus bonus uang jajan, ehe).

Kalau mau dibilang keren karena bisa ke luar negeri mungkin bisa jadi salah satu alasan egoisku ya, yang jelas kalau dipikir-pikir semua orang yang mau ke luar negeri mungkin ada rasa barang seiprit untuk memunculkan ego itu. Tapi kadarnya mungkin beda-beda. Mmm, untukku agak banyak. Wahaha. Tapi lebih dari semua itu, aku ingin mencari dunia yang baru, berbeda, tidak biasa. Bagaimana aku hidup di sana? Pengalaman apa yang bisa kudapat dan kubagi? Wah, asyik sepertinya! Nah, begitulah kira-kira motivasiku. Begitu gamblang dan sederhana, meskipun kurang idealis ya kalau dipikir-pikir. Namun sekali lagi kukatakan orang bebas bermimpi kan, jadi tidak apa.

Mungkin juga ini dorongan dari beberapa buku Mbak Hanum Salsabila Rais dengan suami tercinta Mas Rangga Almahendra yang bercerita asyik penuh makna dalam 99 Cahaya di Langit Eropa dan Terbelahnya Langit Amerika. Membayangkan aku juga bisa menciptakan karya semenarik itu tentu menjadi sebuah idaman baru dalam hidupku!

Tadi sempat kukatakan bahwa mimpiku ke luar negeri hampir saja teraih ya? Hmm, benar sekali. Hampir. Begitu berharapnya aku mungkin hingga Tuhan Yang Maha Biijaksana ingin menguji kesabaran dan keimananku, apakah imanku se-cethek jarak Indonesia dengan Eropa atau Amerika? Begitu?

Mungkin dulu aku pernah menceritakan mengenai seleksi program pertukaran pelajar yang aku ikuti baik di blog pribadiku ini maupun yang lebih lengkap lagi kusampaikan di blog Muslimah Namche (muslimahnamche.blogspot.com). Yap, program Seleksi Bina Antar Budaya. Sempat aku menargetkan hendak ke Prancis. Ini sesuai dengan mimpiku sejak kecil yang sangat gemar dengan Andrea Hirata atau yang senang disapa Ikal, juga Marie Curie, perempuan penemu uranium yang berjuang bersama suaminya Pierre (masih kuhafal betul ya namanya). Hal yang kukejar-kejar dan kuimpikan adalah bisa masuk ke universitas yang kebetulan menjadi tempat kedua tokoh favoritku ini belajar, mana lagi, Sorbonne University. Wah, benar-benar menggugah!

Tapi, ketika itu imam dan bidadariku (babe dan enyak) tidak memperkenankan aku memilih Prancis sebagai salah satu option negara tujuanku, yah, karena beberapa hal yang dipandang terlalu hedonis dan sebagainya. Namun aku tidak apa-apa, maksudku aku kembali pada target awalku, mencari pengalaman di luar negeri, jadi tidak harus di Prancis. Oleh karenanya kuperkenankan Jerman sebagai pilihan utama yang hendak kukunjungi. Mungkin karena masih terbawa suasana film Habibie-Ainun yang memerankan Reza Rahadian aktor favoritku sebagai pemeran utama jadilah aku lebih mantap. Toh, banyak orang-orang cerdas yang lahir dari lulusan Jerman. Begitu pikirku.

Tetapi tetapi tetapi lagi-lagi tetapi.

Program pilihan selain ke Amerika ternyata tidak sepenuhnya gratis, alias kita juga menanggung sebagian ongkos hidup kita. Mmm, gugur deh niatku ke Eropa. Maka aku berfokus ke Amerika dengan mengandalkan program YES-nya.

Tetapi Tuhan berkehendak lain ternyata, sudah kuusaikan tahap-tahap seleksi di chapter Jogja, dan alhasil aku harus bersabar karena termasuk 3 orang yang belum ditakdirkan berangkat dari 15 rombongan yang sudah usai seleksi. Hmm, mengingatnya lucu sekali, dan geli. Bahkan sekarang masih saja ada teman-teman iseng yang suka menggoda perihal ini. Gemas juga. Tapi, buat apa lemas? Karena Allah yang telah meng-“kun”-kannya, so I believed it.

Gagal, boleh sih dibilang begitu. Tapi kalau dibilang mimpi ini gagal, jangan dulu deh, karena ada di hati kecilku yang masih mengharapkannya, meskipun ya kalau dihitung kadarnya mungkin ya enggak seberapa. Tetapi, ada. Cuma bedanya sekarang…..

…..aku sudah menanyakan ke hati kecilku mengenai…..

“Apa sih yang benar-benar kamu inginkan, War?”

“Kamu mau ngapain aja hidup di dunia ini?”

Aku diam. Siapa aku? Setelah kupikir-pikir sejenak, aku lebih pantas di sini, sepertinya aku memang lebih dibutuhkan di sini. Pikiranku semakin terarah. Bukan ke mimpi yang ke sana kemari berlari tanpa hulu, tetapi berlari ke sana kemari dan tertuju.

Sudah ada banyak teman yang sepertinya telah mengambil kesempatan untuk membangun bumi pertiwi dengan belajar dari para tetangga, terjun ke manca negara, mengharumkan nama bangsa, dan sebagainya, seperti cita-citaku sebelumnya. Tapi sekarang, muncul kesadaran. Aku memilih mengambil peran yang berbeda, yang menurutku cocok untukku dan sepertinya lebih dibutuhkan dari orang-orang semacam aku. Indonesia mungkin lebih butuh aku di tanahnya daripada aku mengenyam pendidikan tinggi di luar wilayahnya.

Aku berpikir matang-matang. Mengingat keluarga yang sepertinya lebih nyaman kujaga dari jarak dekat (setidaknya untuk rentang waktu sekarang ini) dan segala keadaan di sekelilingku, aku memilih peran untuk menjadi pemuda yang bekerja di tanah ini. Biarlah, aku mau mengajar dan mendidik benih-benih di tanah ini.

Masa depan takkan terbayang, tapi tentu aku harus mengawang.

Tenang saja, mimpiku untuk membuka dunia luar sana masih tetap hidup, meskipun sekarang harus rihat dahulu karena ada mimpi yang lebih mendesak untuk diwujudkan. Ada mimpi yang lebih tepat waktu untuk kukejar. Aku adalah guru, pendidik anak bangsa, anak-anakku, muridku, kebanggaanku, masa depanku. Ini pilihanku dan takkan kusesali, sebab…..

…..bismillahirrohmanirrohim.