Kata Hukama, “Kalau engkau sedang ragu menghadapi suatu perkara, hendaklah dengarkan suara hawa nafsumu. Kalau hawa nafsu suka ke sana, alamat perkara itu tidak baik engkau tempuh. Tetapi kalau hawa nafsu kurang mau, tetapi baik kata akal alamat itulah yang baik engkau kerjakan.” (Dikutip dari buah karya Prof. Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Falsafah Hidup)

Setelah tiga puluh hari dengan sedikit lubang-lubang tertempuh puasa Ramadhan, sebuah hari yang penuh suka cita dikata orang “Hari Kemenangan” pun datang juga.  Saat wajah-wajah yang jarang berjumpa saling berbagi rona, saat jemari-jemari yang kurang akrab saling menyalami satu sama satunya, saat-saat itulah pribadi-pribadi yang punya semangat bekerja keras bagaimanapun juga berusaha menyiapkan berbagai kebutuhan khususnya perut demi mengiringi silaturahim antar keluarga dan sanak-saudara.

Aku pun berbahagia. Lodong-lodong berisi jajanan yang enak seumpama surga, berpaket-paket wafer dan keripik, minuman yang penuh variasi rasa dan warna, lauk pauk yang saling mengisi kebutuhan lidah manis-asin-tidak-pedas-hehe; sate, gulai, opor, krecek, mau nambah lagi? Belum lagi kue-kue kering yang dikirim sebagai parsel. Wah, sehari itu, perutku kaya raya!

Sehari itu saja. Rasanya penuh, walaupun belum tercicipi segala. Betapa cepatnya hari berlalu, ternyata sudah berganti saja. Hari itu selesai sudah.

Perjuangan selanjutnya pun tiba. Utang-utang puasa yang telah menjadikan roda Ramadhanku berlubang-lubang, secepat mungkin harus ditambal. Makanan yang enak-enak tadi, jajanan yang menggugah tadi, kue-kue yang menggoda tadi, lauk pauk yang segar tadi (yang berkali-kali harus dihangatkan saking banyak dan belum habis-habisnya), harus ditahan untuk dicicipi. Sebesar apa daku ingin, bukan berarti cepat-cepat harus dipenuhi. Sebesar apapun hasrat menghabiskan kesemuanya, tidak berarti harus dituntaskan segera.

Pertama, karena itu berbahaya, tentu saja. Bila kesemua yang jumlahnya tiada tara dihabiskan dalam waktu sebentar saja, wah meledak perutnya. Daku perlu bijak-bijak menentukan, oh ini boleh, oh jangan kebanyakan, oh jangan.

Kedua, karena inilah sensasinya. Hehe, menahan. Kadang mungkin dalam beberapa benak yang merasakan, setelah berturut-turut melalui puasa yang (serasa) tidak ada habisnya, rasanya ingin dituntaskan atau dibalas dendamkan ketika lebaran. Yang setelah tiga puluh hari turun berat badan 5 kg, mendadak sehari setelah lebaran naik lagi 10 kg.

Pemaknaan mengenai tiga puluh hari Ramadhan jadinya malah luntur dihanyutkan oleh makanan yang melalui tenggorokan. Eh, kerongkongan. Hehe, nggak sengaja ngelawak.

Duh, Allohu, semoga daku diselamatkan dari godaan begitu. Di saat-saat begini, impuls untuk merenungkan sesuatu harusnya lebih besar. Harusnya. Dalam keadaan begini, entah bagaimana yang terbayang itu malah Mas Fahri, ugh. Pribadi yang dalam baiknya keadaan dan mendukungnya segala kebutuhan, tiada absen memikirkan bagaimana pribadi yang lain. Jangan-jangan daku tidur tenang, saudara lain yang masih berjarak sekian meter dari rumah tidak bisa memenuhi perut hingga kenyang.

Terkadang diri memang lalai untuk peka dalam hal ini, apalagi mengingat liburan ini sengaja diwarnai di dalam dinding rumah. Jadilah mataku lebih banyak layu melihat apa-apa yang mungkin terlewat dari pandanganku. Allohu. Namun bersamaan dengan upaya baru yang mencoba sebaik mungkin memperbaiki kepayahanku selama Ramadhan, sepenuh hati kumohon supaya kembali terus menerus menemukan pemaknaan tentang-Mu.

InsyaAllah, sepenuh hati juga kudoakan padamu, sahabat-sahabat. Syawal yang kita sapa dengan puasa yang ikhlas semoga mampu menjadikan keinginan-keinginan kita lebih terarah dan terkontrol. Mengingat besar hasrat meninggalkan Ramadhan lewat makan yang enak-enak, mari belajar bijak-bijak bagaimana supaya bukan kita yang dikendalikan oleh hasrat itu sendiri.

Yogyakarta, 3 Syawal 1439