Ini terdorong oleh perasaan gelisah menyadari waktu yang kian menipis dan masa depan yang sulit teranalisis. Sebelum napas terakhir atau memoriku diambil, lebih baik kuserat kenangan itu di sini. Sebuah momen penting di mana aku yakin betul, aku tidak sendiri memiliki rasa itu. Ternyata, ada yang membantuku.

Aku tahu sendiri itu nggak mengasyikkan, makanya aku nggak suka kalau sendirian (kecuali di beberapa momen yang butuh kemandirian). Oleh karenanya, tentu melihat sahabat lain berada di posisi sendirian, aku ikut merasakan. Itu tidak nyaman. Iya kan? Semampuku, aku usahakan bisa menjadi teman. Rada sok-sokan sih emang. Hahaha. Tapi aku harus. Karena bila tidak dilakukan, maka terasa seperti penghianatan terhadap nuraniku pribadi. Katanya nggak suka sendirian, tapi kalau ada teman yang jomblo dibiarkan. Nah, mau jawab apa kalau itu ditanyakan?

Jadi, cuskan.

Tantangannya adalah gengsi, pun rasa berat hati kalau nanti ada sahabat-sahabat lain yang tidak sejalan dengan apa yang sedang kuperjuangkan: merengkuh yang belum tersentuh.

Mungkin sebagian juga merasa gengsi. Atau risih. Atau alasan-alasan lain yang sebenarnya sulit untuk dibetulkan mengingat kita sama-sama satu spesies (setidaknya ilmu biologi masih berkata begitu sampai sekarang).

Muehehe, cuskan.

Memang nggak mudah. Memang kadang-kadang aku sendiri yang memutuskan pada akhirnya merasa tidak nyaman di perjalanan untuk mendampingi sahabat yang jarang bertegur dengan sesamanya. Memang rasanya pengen nyerah. Tapi, gengsi ah. Masa aku udah memenangkan nuraniku terus tiba-tiba kalah. Hahaha. Kan ogah. Jadi, terus kujalankan. Masa udah macak jadi pahlawan, tiba-tiba aku berbalik untuk ditertawakan. Kan memalukan. Hahaha.

Sampai ada sebuah pengalaman begitu juga. Di mana dalam sebuah forum kekeluargaan aku menemukan sesosok sahabat yang selama rangkaian acara sedikit sekali terangkul yang lainnya. Mungkin karena dia berbeda, ya. Sahabat lain mengobrol dan tertawa, dia seperti orang puasa bicara. Sahabat lain makan bersama dalam lingkaran kehangatan, ia memilih khidmat di pojok menikmati hidangan. Duh. Kan aku jadi nggak enakan.

Mmmm, penting diketahui, kebetulan sahabatku yang satu ini laki-laki. Sedangkan kan aku perempuan, sedikit ragu-ragu awalnya ingin menyapa. Tapi…. hei, Ahimsa. Bukannya kamu udah biasa? So, jalankan saja.

Sehingga aku mencoba melakukan seperti yang sanubariku sarankan. Begitu, begitu, begitu. Melibatkannya dalam beberapa hal yang mungkin bisa kuusahakan walaupun sejujurnya tetap sangat terbatas. Tapi tak apa. Ini namanya usaha. Semoga Allah memuluskannya.

Serius itu sudah berjalan cukup lama, dan niatku tetap sama. Seriusan. Beneran deh. Sampai-sampai tanpa kusadari aku sudah mengubah sesuatu. Duh, Hims. Salah sasaran. Sahabatku malah jadi haus akan perhatian. Tanpa sengaja aku telah menjadikan dia pribadi yang terbaperkan. Allohu akbar, maafkan.

Usai pencapaian itu aku dirundung rasa kegemasan. Padanya. Dan pada diriku sendiri. Oh my Allah, apa yang harus kulakukan? Akhirnya tanpa ragu kuhentikan semua. Segala bentuk bantuan, perhatian. Aku hanya memberikan secukupnya, bahkan terlalu cukup, atau sedikit kurang. Aku tidak cukup tahu. Cuma bagiku, yang terpenting adalah dia berhenti memiliki kecenderungan padaku.

Untunglah, selanjutnya aku sempat terbantu dengan berkurangnya forum-forum kami bertemu. Alhamdulillah. Aku pikir itu bisa sedikit meredakan emosi yang kurang baik terjadi.

Hingga pada suatu waktu, lagi-lagi di momen yang aku sendiri tidak menyangka dapat bertemu kembali. Aku menyapa semampunya, sekenanya. Senyum, jelas. Hebring, kuhindari. Lalu kubiarkan sahabatku itu. Dia masih sama. Lebih banyak diam, masih cenderung tidak bicara banyak kepada yang lainnya, tanpa ada sahabat lain yang membersamainya. Seperti biasa. Kemudian rasa kasihan ini muncul kembali. Hanya saja tantangan sekarang menjadi lebih besar karena khawatir membaperkan lagi. Sedang dalam diriku sejujurnya tidak nyaman dengan hal-hal semacam itu.

Aku menarik napas dalam-dalam.

Sebelum aku berkeputusan mendekat, sesosok yang lain ternyata sudah mendahului. Sahabat lain, laki-laki juga. Sahabat yang di awal kulihat terasa silau untuk dikenali waajahnya. Tapi segera kuketahui, kemilau itu dari ketulusannya.

Didekatinya sahabatku yang sendiri itu, seolah dia telah memberikan sepakat tanpa berjabat, “Aku aja.” Hehe.

Lalu aku tersenyum menatap keduanya mengobrol dan tertawa lepas. Ternyata, aku tidak sendiri, selalu ada pribadi-pribadi lain yang memiliki rasa sama, keinginan untuk sama-sama merengkuh yang belum tersentuh.

Untuk kenangan soal bantuan itu, lewat segala keterbatasan, saya ucapkan salam beriring doa dengan sebuah isi pesan yang jelas : terima kasih, sahabat.

Yogyakarta, 17 Muharram 1439