“Lha, kamu pernah punya pacar enggak, Him?”

Pertanyaan yang menjadi salah satu santapan renyah di samping bungkusan nasi petang ini. Alhamdulillah, perlu disyukuri sebab kami berdua masih diberi kesempatan bertemu adzan Maghrib sehingga dapat menutup puasa hari ini dengan rezeki seadanya. Kalau kami ialah pasangan sejoli laki-laki dan perempuan atau sepasang kembaran, mungkin ini menjadi hal yang menarik berhubung panggilan yang bisa dikatakan mirip. Ahim dan Hima. Bagaimana menurutmu?

Sekitar pukul 15.00 WIB tadi baru saja aku dan Hima kembali bersama sekawanan manusia lainnya sedari kegiatan Sekolah Advokasi (cek entri sebelum-sebelumnya). Kegiatan yang memakan waktu selama 3 hari ini sungguh luar biasa lelahnya sekaligus luar biasa puasnya. Di hari pertama, aku dan Hima sudah menjadi kawan akrab berhubung kami pernah bertemu dalam agenda lain sebelumnya. Meskipun dalam kegiatan Sekolah Advokasi kami harus terpisah dalam kelompok yang berbeda, toh pada akhirnya ketika jam pulang duduk berpasangan lagi di bus. Sebelum berpulang memenuhi kerinduan pada rumah maka kami sempatkan segera beranjak melaksanakan ibadah Sholat Ashar di masjid Gedung PDM. Berikutnya untuk beberapa alasan kami memutuskan untuk turut mengikuti pengajian di masjid tersebut kala itu sekalian menanti Maghrib dan menunaikan seruannya.

Layaknya aku yang biasanya, nasi ataupun makanan berat lainnya saat berbuka kutunda menyantapnya hingga sehabis sholat. Begitu juga dengan Hima petang itu. Kami tidak ingin makan di dalam masjid, melainkan lebih setuju berada di bagian luar gedung PDM. Di tengah kecamuk suara mesin kendaraan yang membaur dengan udara kegelapan, lampu-lampu mulai beringsut dinyalakan hingga menegaskan suasana kota yang sebenarnya. “Udah pernah pacaran?” tanya Hima padaku.

Kami menyibukkan diri dengan percakapan menyenangkan sambil menikmati oleh-oleh takjil. Obrolan ini entah bagaimana mulanya, tapi sangat mengena bagiku. Sebelumnya ia berseru, “Aku menyesal, kenapa dulu aku pacaran.”

Untukku, kalimat ini sedikit membuat canggung. Bagaimana aku menimpalinya? “Kamu pernah punya pacar, Him? Kapan?”

Aku tidak yakin mengingat baik angka yang disebutkan Hima. Tapi aku yakin antara 1 atau 2 bulan lalu hubungan itu berakhir. Angka lain yang aku ingat pasti adalah lama perjalanan mereka, hubungan yang sudah berjalan selama 4 tahun. Itu….kandas. Kenapa?

Pertanyaan itu muncul begitu saja di kepalaku.

Bukan menyayangkan. Bukan maksudku ingin berkata ‘Lho? Udah 4 tahun kenapa putus? Itu udah lama sekali! Lanjutkan aja! Pertahankan!’ tidak. Aku bertanya kenapa bukan karena itu. Penasaran? Memang. Tapi aku benar-benar dibuat penasaran dengan pertanyaan yang terselip begitu saja di kalbuku. Hubungan 4 tahun yang entah bagaimana lika-likunya telah bisa memunculkan kata ‘menyesal’ dari bibirnya. Kenapa? Bagaimana bisa? Tapi, di situlah jawabannya. Itulah. Di dalam rasa penasaran itulah jawabannya. Ya, lika-liku!

Begitu Hima menyuguhkan kata ‘lika-liku’ yang dianggapnya telah menemui titik akhir aku mencoba memahami, meskipun yang aku terima tidak ada sama sekali. Mungkin aku bodoh atau apa, tapi aku menyerah untuk mendalami bagaimana bentuk titik itu sebenarnya. Mungkin lebih baik aku tidak bertanya lagi. Kali ini Hima cenderung ingin memantapkan hati untuk sebuah hal yang dianggapnya lebih penting dari bahasan soal pacar. Untuk ini aku juga ada di pihaknya.

Ketika pertanyaan itu sampai kepadaku, aku terkekeh. Udah pacaran belum ya, dijawab apa ya enaknya.

“Hehe, kalau pacaran belum..,” ungkapku. Koreksi batin, harusnya kujawab tidak ya, bukan belum. “Mmm, tapi kalau suka orang ya pernah. Hehe.”

Kalau aku lagi-lagi menjawab seperti itu, sungguhan akan kutapuk jidatku pribadi. Mengapa kusebutkan kalimat terakhir barusan? Kenangan bodoh apa yang ingin aku bagi? Itu sudah berlangsung lama sekali dan kaku bila ingin kukupas lagi. Rasa kagum dan keputusan menempatkan kekaguman berlebih kepada salah seorang lawan jenis itu aku sudah kelewat lupa bagaimana rasanya. Mungkin aku lebih tertarik ke hal lain sekarang ini. Toh yang aku tahu dan kuyakini, bahwa aku masih punya banyak waktu yang juga bisa dikatakan ‘waktu yang sementara’ karena tentu akan segera berlalu. Untuk waktu yang sementara itu aku memutuskan untuk menjadi sosok yang setia. Setia kepada yang satu, yang sudah digariskan Tuhan untukku. “Sekarang, nunggu lamaran aja hehehe.”

“Iya, bener,” seru Hima. “Toh jodoh nggak kemana-mana, meskipun datangnya juga nggak keduga-duga.”

Aku senang menyimak dia berbagi cerita dengan caranya yang sederhana, “Bisa kan kamu ketemu dengan seseorang di sebuah momen, di sebuah acara deh, yang rentang waktu pelaksanaannya cuma bentar, kalian ketemu juga hanya di momen itu. Dari pihak kamu sendiri mungkin kamu blas nggak ada rasa, blas nggak mikir akan punya hubungan sama dia. Tapi bisa jadi beberapa tahun setelah itu orang ini datang ke rumahmu langsung tanpa pendekatan ngelamar kamu nggak ragu-ragu, pasti, tentu saja itu pasti mengherankan…”

“…bisa, seperti itu bisa. Karena mungkin dia ngerasa gimana waktu ketemu kamu, dan momen ‘ketemu kamu’ itu memang mungkin menjadi sesuatu yang mengenang. Sehingga di acara itu dia juga mungkin juga nyoba cari kontakmu. Bukan buat dideketin, bukan buat dihubungin. Tapi ini bisa jadi salah satu caranya untuk ngikutin perjalananmu dibarengi dengan ia yang memantapkan dan menyiapkan diri. Pada akhirnya di titik yang dirasanya pas, ia datang nglamar kamu. Pasti deh, waktu itu kamu kaget!”

“Iya, bisa, bisa jadi. Bisa jadi kemungkinannya kaya gitu, dan menurutku yang kaya gitu malah jauh lebih indah,” seruku. “Laki-laki ini keren sekali, karena dia juga nggak ada ragu, nggak ada takut gitu ditolak meskipun tanpa pendekatan abal-abal kaya yang biasanya.”

Aku juga menyebut salah satu kalimat yang sebenarnya tidak begitu kuingat susunannya, tapi benar-benar mendalam maknanya (setidaknya menurutku). Entah dimana aku pernah menemukan kalimat ini.

Jika orang yang selalu kamu sebut dalam doamu pada akhirnya ternyata bukan untukmu, percayalah, bahwa ada orang yang selalu menyebutmu dalam doanya tanpa kamu mengetahui itu, dan mungkin dialah yang sesungguhnya sudah disiapkan Allah untukmu.

Kalimat itu entah bagaimana memberikan pelumas kepada roda-roda optimisme milikku yang sebelumnya macet dan seret. Jadi soal setia ini akan selalu aku pertahankan, untuk siapapun dan bagaimanapun, untuk dia yang sudah disiapkan.

Bagiku ini bukan sekedar penantian, melainkan perjalanan. Aku bukan duduk terpaku menunggu seorang pangeran melintas, tetapi aku berjalan memastikan kesiapanku untuk menghampirinya yang juga sama-sama sedang berjalan ke arah sebaliknya. Insya Allah, kami bertemu di masa yang tepat.

Sumber gambar : https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiw1PSPv-HNAhWLP48KHTwIDUgQjRwIBw&url=http%3A%2F%2Feverylovestorysbeautiful.tumblr.com%2F&psig=AFQjCNEztHKueSE7xdDk1apAfPw80UbMcA&ust=1467985666220293