Aku merasa lemah sekali.

Jumat siang itu sebetulnya sepedaku sudah bergerak menuju keluar gerbang kampus kalau ndak ingat ada sesuatu. Denda perpustakaan! Sudah nggak kuat aku kalau ingat. Cukup sudah dihantui akhirat. Muehehe. Akhirnya aku kembali. Ba’da kubayar lunas denda ke perpustakaan, rasanya cukup sudah urusan duniaku, siap mati sekarang. Hehe. Tapi jebul ora, ternyata napas masih diijinkan. Aku berangkat pulang, tapi mataku tertambat di tengah jalan.

Kuhentikan langkah menatap seorang bocah di salah satu bangku kampus. Dengan dua keranjang besar berisi beberapa bungkus. Aku sesak napas. Mungkin dia seusia adikku, Sobat, sekitar kelas 3 atau 4 SD. Duh.

Kuperhatikan, kuikuti.

Menyadari ada yang memperhatikan, dia menatapku, “Ngapain sih?”

Aku senyum, “Aku mau ngelihatin.”

“Nggak boleh.”

“Aku mau nemenin kamu.”

Ditolak mentah-mentah.

“Aku bantuin.”

Ditolak tanpa mampu kucegah. Dia berhenti menanggalkan keranjang-keranjangnya. Aku ikut berhenti. Dia mutung? Mungkin. Akhirnya kutanyai apa saja dagangannya. Keripik macam-macam, serunya.

Bodoh sebodoh-bodohnya aku adalah pertanyaan, “Kamu ndak sekolah?” Dia diam. Ndak jawab. Bibirnya getar, ndak tahu kenapa. Aku ingin sekali menendang otakku yang segera mengirim perintah ke mulut yang manutan tenan. Astaghfirulloh. Hari Jumat begini, bajunya dia begini, masih juga ditanya, Hims. Astaghfirulloh. Duh. Duh.

Langsung kualihkan. Namanya Imam. Cuma satu informasi itu yang mungkin dengan santai disampaikannya padaku, selain bahwa harga keripiknya Rp 10.000. Hehe.

Bingung aku. Uangku sudah ludes untuk membayar denda. Tersisa Rp 9.000 di kantong. Malu rasanya di depan Imam. Dia diam memperhatikanku mencari uang—masih menunggu. Kepalaku mengingat ada sisa uang Rp 5.000 di dalam wadah pensil, kugapai tanpa jeda seupil.

Kubeli. Selesai. Buat dia seolah hubungan kami sekadar penjual dan pembeli, dia jual dan aku beli, lalu usai. Tapi nggak, aku nggak mau.

Kuikuti lagi. Dia geregetan, bilang ndak mau. Kuberi nasi goreng yang barusan kudapat dari kantin, ndak mau juga. Aku bilang ini cuma-cuma, ndak mau. Kubilang untuk makan siang, ndak mau.

Lalu kubiarkan dia menjauh.

Segera aku menuju Ijah yang kala itu ada jauh di depan kami (pikiranku saat itu si Imam nanti bakal lewat situ lagi). Ijah sedang dalam tugas jaga tiket English Day, sendirian. Aku sampaikan padanya petunjuk ke arah jam satu—posisi Imam. “Anak kecil, jualan,” seruku. Dia bilang mau ketemu. Kukatakan, tunggu aja.

Lalu jadilah kami menunggu Imam. Lewat sana. Lewat sini. Sampai di tempat kami, sadar ada aku ia pun pergi. Loh? Loh? Aku masih ingat ada sedikit senyum atau tawa kecil sekali saat itu, sambil ia berlalu.

“Loh, Mam, ke mana?” seruku. “Sini dulu, hei,” kukejar dia.

Aku berlari kecil. Dia masih menolak bantuanku. Kami keluar dari FIB. Masih dengan gereget dia bilang, “Nggak usah to.”

Sampai kami akan memasuki FEB (Fakultas Ekonomi dan Bisnis), di hadapan Gedung Pertamina, gedung paling fenomenal kata sebagian besar orang (sebagian sisanya masih menunggu adanya Gedung Hims, hehe). Aku berseru padanya, “Kamu tahu gedung ini apa nggak?”

Nggak dijawab. “Gedung batere,” kataku mengikuti bagaimana orang biasanya bilang.

“Sok tahu,” gitu katanya.

Setelahnya kami eyel-eyelan, debat kecil-kecilan, kekanak-kanakan. Dia sebel, tapi ketawa. Lucu aja. Sempat dia bilang, “Kamu nggak usah ngikutin aku to. Ntar ibuku marah.” Tapi aku nggak memedulikan itu.

Sebelum jauh kami masuk, seorang ibu menyapa kami (kalau itu benar sapaan, aku juga ndak yakin). Ibu itu setahuku sering mengumpulkan sampah di sekitar area yang memisahkan Fakultas Psikologi dan FIB, kampusku. Aku cuma senyum, bingung. Memasuki lorong gedung, dia masuk ke bank. Aku canggung. Waduh, ngapain? Tapi kuberanikan diri ikut masuk. Otakku bilang, “Halah, paling dia masuk cuma mau ngehindarin aku.”

Lalu aku masuk dan disambut satpam, “Ada yang bisa saya bantu?”

Aku tersenyum agak bodoh. Hehe. “Oh, nggak, Pak. Saya cuma mau ngikutin dia,” kataku sambil menunjuk Imam yang ternyata udah duduk leyeh-leyeh di bangku bank.

Lalu si bapak ber-ohhhh sambil tersenyum menyilakan. Aku duduk di samping Imam. Dia memberi pandangan, “Ngapain sih?” Kuajak ngobrol, meski dicuekkan.

Bu teller dan pak satpam rupa-rupanya sudah mengenal bocah ini. Digoda-godalah si Imam oleh pak satpam, “Eh, kamu kok tumben sok cuek gitu? Malu ya?”

Kata bu teller, “Wah, malu ini sama Mbaknya!”

Aku tertawa. “Loh, Imam sering main ke sini, Bu?”

Lalu sang ibu bercerita bahwa Imam sering ke sana, menunggunya sholat dan menawarkan keripik-keripik itu. Duh, Imam. “Wah, Mam, kamu juga main ke fakultasku terus dong. Ntar ketemu aku. Ntar aku beli deh,” kuserukan padanya. Tapi dia sok-sokan memberi penolakan.

Beberapa kali kuperhatikan, dia menghindarkan tatapan. Ealah, Mam, Mam. Kusedih. Kutatap bungkus-bungkus jajanan, masih belasan. Kutanya, “Kamu habis ini mau kemana?”

“Kepo!” katanya. Muehehe. Jadi inget Dek Sobat kalau begini.

Lalu beberapa waktu kemudian dia bilang, “Aku mau ke ibuku. Liat aja! Sukurin nanti kalau kamu dimarahin.”

Hmmm. Aku masih ndak peduli dan ngajak dia ngobrol hal lain. Tetap dicuekin. Haduh. Huh. Anak ini beda sekali dengan yang biasa kutemui. Aku jadi ingat Lius, begitu pilu juga keadaannya, dia tetap begitu percaya diri. Di kampus ini beberapa orang kutemui, dengan segala kekurangannya mereka begitu ringan berbagi. Imam, entah bagaimana begitu sulit kutaklukan. Aku jadi ingat cerita salah satu pengajar muda dalam buku Indonesia Mengajar (gerakan yang dibangun Anies Baswedan) yang pada akhirnya hanya sampai kepada harapan untuk bisa menaklukkan muridnya yang belum mampu disentuhnya. Aku sedih. Apakah aku akan berakhir begitu kali ini?

Cukup lama kami duduk di sana. Menonton sinetron di layar televisi. Diam. Melirik-lirik. Ia langsung membuang muka saat tertangkap basah matanya memperhatikanku. Bibirnya manyun. Mukanya sebal. Menahan senyum. Malu tapi ngambek.

Setelah sang ibu teller membeli dua bungkus keripik, ia mempersiapkan keranjangnya untuk diangkat. Tetap tidak mau dibantu. Aku tetap mengikutinya. Berharap ia berubah, tapi sungguh itu cuma harapan payah. Aku akhirnya berhenti saat ia berseru, “Nggak usah ngikutin aku to. Kalau kamu ngikutin terus, ntar nggak ada yang beli.”

Lalu, entah bagaimana aku stop.

Sesak rasanya. Dari bangunan gedung batere, aku menatapnya yang perlahan dan kesulitan membawa dua keranjang keripik menjauh menuju Fakultas Fisipol. Menaiki tangga dan segera hilang di kerumunan. Aku masih di sana. Pahit. Tanganku rasanya kosong. Bukan karena ndak ada apa-apa. Tapi hampa saja. Tidak ada yang mampu kusampaikan padanya.

Berat untuk melangkah. Aku tetap bertahan di sana. Agak lama. Hingga beberapa waktu kemudian ada pemandangan lain. Persis dari arah aku kehilangan Imam, muncul sosok lain yang lebih kecil. Kali ini seorang gadis sedang menenteng sebuah keranjang yang mirip dengan milik Imam, sepandanganku isinya sama. Mendekat padaku, meski bukan ke arahku. Berbelok ke bangunan kampus FEB. Aku masih memperhatikan, bingung.

Tidak lama. Di belakangnya seorang ibu dan anak lelaki yang jauh lebih kecil juga hadir dengan sebuah keranjang yang mirip lagi. Mengarah ke tempat lain. Aku tambah bingung. Mereka banyak sekali. Kepalaku berputar, mencoba mencerna seluruh fenomena. Tapi dadaku terlalu sesak. Mataku kabur. Segera langkahku kembali ke tempat Ijah. Padanya kusampaikan diri yang merasa begitu lemah.

Lalu aku pulang.

Besoknya aku ceritakan ini kepada seorang pendengar yang baik. Entah perasaanku aja atau bagaimana, belakangan aku seperti kehilangan banyak tempat untuk berbagi (atau aku aja yang terlalu berambisi lebih?). Tapi hari itu padanya kusampaikan gundah tentang hal lain dan secara tidak sengaja soal hal ini. Dia yang lebih paham soal jalanan dan hal-hal beginian, mengiyakan pikiranku bahwa Imam adalah sosok yang memang lebih pesimis dengan keadaannya. Lebih cenderung menerima.

“Iya dia nolak semuanya,” sahabatku memberi pandangan. “Kalau ketahuan oleh ibunya dia makan nasi dari kamu, yang dimarahin itu dia. Bisa dibilangin, malah makan bukannya kerja, dan lain-lain.”

Aku jadi makin sedih karena memaksa-maksa untuk kuikuti. Tapi sulit aku tahan membayangkan bibirnya getar saat kutanya soal sekolah, aku juga belum membayangkan apakah ada waktunya untuk bermain, waktunya hanya soal cari uang ke sana kemari.

“Keadaan menuntut mereka, Hims.”

Sahabatku bertutur, “Kalau kamu mau ngerangkul, jadi yang di atas.”

Aku menelan ludah.

Dibersamai doa dan harapan terbaik untuk bocah itu dan sahabat lainnya, yang mungkin untuk saat ini belum sampai jemariku mampu mencapainya. Semoga Allah menuntun jalannya, sehingga penuh rahmat, hidayah, dan barokah.

Yogyakarta, 16 Shafar 1439