Who knows? I’m not sure.

Mungkin sebab terlalu banyak tenggelam dalam cerita novel dan dongeng sastra yaak, semua itu selalu terasa jauh buatku. Aku seperti lebih cocok jadi pembaca dan penikmat. Aku seolah belum siap menjadi pribadi yang mengarungi semua cerita itu. Rasanya masih jauuuh, jauh sekali. Bahkan bila ada tanda-tanda sudah dekat, keadaan malah memaksa untuk menjauh, hehe. Aku sering mengintip-intip kalender di dinding, melihat jam di tangan, lalu bertanya pada diri sendiri: apakah ini saat yang tepat?

Dua penasehat yang paling kupercaya, Bapak dan Ibu, memang bukan pribadi yang memburu-buru dari dulu. Malah ketika aku masih bersekolah dan bercerita soal teman laki-laki yang mengagumkan, mereka mengingatkan, “Jangan dulu. Nanti dulu. Belajar dulu.”

Pada saatnya, beberapa waktu lalu, Bapak beberapa kali melempar tanya yang serius tapi bernada bercanda, “Gimana? Udah ada temen cowok yang deket belum?”

Sering aku timpali dengan bercandaan pula, “BANYAKKKK! Sampai bingoonnggg!”

Hehehe, padahal??? Terakhir kali aku ceritakan kondisiku dengan jujur pada beliau, balasnya, “Yaudaaah, gapapaaa.” sambil membesarkan hatiku. Tapi di kesempatan lain, diulangi lagi pertanyaan itu. “Udah ada belum?” Wahh, wahhh.

Aku pribadi sesungguhnya masih ragu untuk beranjak dari tempatku berdiri. Belum berniat pergi, hihi. Setidaknya sampai kalimat itu ditulis. Pun, ada mimpi-mimpi yang ingin kudekap terlebih dahulu sebelum memikirkan soal bagaimana berjalan beriringan dengan seseorang yang akan mau susah senang bersamaku (ulala). Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin! Toh, beberapa sahabat perempuanku masih isokey berjalan sendirian dan melakukan banyak hal yang mereka inginkan. Kerja, berkarya, kuliah lagi, dan sebagainya. Aku juga ingin! Aku ingin memperkaya diriku lagi.

Tapi, pertanyaan Bapak yang sudah lebih dari cukup aku dengar belakangan membikin berpikir lagi. Di tempatku berdiri, banyak hal melintas. Seperti yang lalu dan selalu, kenyataan lahirku sebagai putri pertama membebani pikiran. Bila makin sepuh Bapak dan Ibu, lantas bagaimana nantinya adik-adikku dan aku? Mustahil menggantungkan hidup pada beliau berdua terus menerus.

Meski yakin Bapak bukan pribadi yang akan berpikir sempit untuk melepas tanggung jawab dengan menyuruhku berpindah “menggantungkan” hidup ke laki-laki lain di masa depan, tetapi bukan berarti aku abai pada pertanyaan beliau. Bapak tentu berharap aku bisa segera menemukan kemantapan langkah ke depan. Di saat yang sama, rasanya tidak enak, pada keluarga belum banyak kontribusi bisa kuberi. Waktuku lebih banyak untuk di luar demi cita dan inginku sendiri.

Ini adalah masa yang mengkhawatirkan. Aku tidak ingin melalui masa ini tanpa menyadari apa yang aku lakukan. Sudah cukup waktu kemarin tersia-siakan. Kini, semoga diriku lebih baik dalam merencanakan dan mengusahakan.

Termasuk dalam jatuh cinta. Aku tidak ingin buru-buru. Apalagi menyadari kerapuhan dalam diri yang masih berusaha mengukuhkan pegangan pada penopang yang sejati. Selalu terngiang dalam kepalaku kalimat “Love when you’re ready, not when you’re lonely.” Sebab akan sangat keliru dan hanya mencederai satu sama lain (kini istilah bekennya toxic”) bila sebuah cerita dibuka hanya untuk memenangkan rasa “membutuhkan” semata, rasa ingin bergantung, rasa ingin bersandar. Padahal sepatutnya, yang perlu dimiliki adalah rasa ingin memberi dan menerima. Hingga apa yang disebut orang dengan “jatuh” cinta ini, harapannya (meminjam istilah Ustadz Salim A. Fillah) bisa menjadi “bangun” cinta. Sama-sama menjadi ladang dimana baik aku maupun sosok di masa depan itu bisa bertumbuh dan berkembang bersama. Bisa membangun surga, baik di dunia maupun alam setelahnya.

Flowers

Beberapa karya yang menimbulkan refleksi tentang ini adalah:

  1. Tulisan berjudul Tak Cukup by Mbak Apik, istri Mas Kurniawan Gunadi
  2. Kelas #MeiMenginspirasi Cerita Sebelum Bercerai dari Mas Fahd Pahdepie

Mungkin kalau kamu luang, Sahabat, bisa juga menyimak dua karya itu. Betul-betul menyadarkan betapa sikap menerima diri dan pasangan seutuhnya adalah hal yang penting dalam setiap hubungan. Jadi, siapapun nantinya, meski belum bisa kujawab pada Bapak, setidaknya aku akan membekali diri dengan ini dulu. Insyaallah, akan belajar sebaik mungkin.

Satu hal lagi ingin kutegaskan pada diri sendiri supaya tidak pincang untuk berjalan ke depan. Sebuah pesan dari seorang Sahabat, bahwa aku merdeka untuk menentukan dengan siapa cinta itu nanti akan dibangun. Jadi tinggal bismillah, sambil memohon ridho-Nya.

Hehe, jadi kapan waktu yang tepat untuk jatuh cinta? Jawabannya pasti bukan angka seperti usia atau masa tertentu. Bukan saat kuliah semester tua, pas masuk SMA, atau mungkin sehabis dapat kerja. Menurutku, meminjam kata-kata Mas Fahd, saat ada kesadaran.

Aku akan mencintai dengan sadar.

Ini adalah cinta yang akan kita genggam kuat dalam sebuah kata sepakat.

Yogyakarta, 5 Syawal 1441-13 Rabiul Awwal 1442