Demi memulihkan keadaan, khususnya masalah perasaan supaya sampai kepada ketenangan, seseorang (dan termasuk diriku sendiri) lebih memilih menyibukkan diri dengan mencari-cari sisa-sisa kepemilikan. Apapun yang bisa ditemukan, diakui. Hal itu untuk selanjutnya tersampaikan, “Nggak apa-apa. Setidaknya…” sehingga demikianlah tersebut hal-hal yang mampu ditemukan tadi.

“Setidaknya masih ada ini, itu.”

“Setidaknya masih begini, begitu.”

Sesuatu dan sebangsa apapun yang patut disandingkan dengan kata “setidaknya”.

Aku pikir, sampai sekarang nuraniku lebih banyak dipenuhi ambisi untuk mencari sisa-sisa itu. Setidaknya ya beginilah, begitulah. Apakah upaya untuk bersyukur? Aku ndak yakin. Cenderung serasa untuk mengukuhkan batin dan membuktikan tangguhnya yang terjamin.

Pfffttt.

Aku diam, meyakinkan pada diriku sendiri bahwa tidak ada yang namanya “setidaknya, setidaknya” itu, susah sekali mencarinya, selain hanya kembali pada Yang Maha Berpunya. Kapanpun dan dimanapun dalam kondisi apapun, harapku, ada satu kata “setidaknya” yang bisa kuperjuangkan.

“Setidaknya aku masih berpijak kepada kebenaran.”

Nurani dan jasmani semoga berlaku sejalan tanpa perlu aku merasa tertekan. Satu-satunya kegelisahan yang aku takutkan adalah, tidak berada dalam jalan Tuhan.

Yogyakarta, 4 Rabbiul Akhir 1439

Biar saya disiksa dan mendapat luka-luka, tapi setidaknya saya masih berpijak kepada kebenaran.