Sekilas, informasi singkat buku yang aku baca:

Judul            = Bicara Itu Ada Seninya (Rahasia Komunikasi yang Efektif)

Penulis         = Oh Su Hyang

Penerjemah = Asti Ningsih

Penerbit       = BIP (Bhuana Ilmu Populer) Kelompok Gramedia

Halaman     = 238

ISBN             = 978-602-455-392-0

Tahun           = 2018

Cetakan        = Ketujuh, 2019

Status           = Pinjem temen


Sebelum berangkat ke Korea, niatnya aku pengen banget mengkhatamkan buku ini. Buku yang terlihat aplikatif ini sebetulnya menjadi salah satu dagangan yang laris banget di lapak @himsbook-ku. Sayangnya, baru setelah capek cari untung dunia sampai dagangannya abis, ketertarikanku untuk membaca karya Oh Su Hyang ini baru muncul. Salah satu yang menarik bagiku adalah karena terserat keterangan mengenai beliau sang penulis, ‘dosen dan pakar komunikasi terkenal di Korea Selatan’. Kan menggoda banget kan yaa.

 

 

Buku ini terbagi ke dalam lima bab yang disusun bukan berdasarkan urutan struktural tertentu menurutku. Oh Su Hyang menyuguhkan bab demi bab dengan pembahasaan yang santai dan seolah seperti bercerita, sehingga kesan sebagai ‘buku tutorial yang kaku’ luntur sudah ketika mulai membacanya. Saat pertama kali bersinggungan dengan buku ini, aku pun tidak membacanya dari halamam awal. Meski begitu, rasanya nyaman-nyaman aja dan nyambung-nyambung aja kok.

 

Mmmm, para Sahabat mungkin penasaran, emang isinya ngupas apa aja sih?

 

Bagian awal, sang penulis mengajak kita berdiskusi soal pentingnya menjadi pribadi yang ahli dalam berbicara. Pun disuguhkan juga fenomena yang umumnya menghambat seseorang dalam mengembangkan seni bicara, seperti takut atau trauma. Beberapa tokoh publik ditampilkan sebagai contoh nyata yang mengalami perjalanan panjang hingga pada akhirnya bisa lihai berbicara seperti sekarang. Salah satunya, Barack Obama, yang pernah mengalami rasa rendah diri namun akhirnya bisa membuktikan dirinya.

 

…ia adalah “anak blasteran” yang tidak diakui oleh murid-murid kulit hitam apalagi kulit putih. Trauma dan rasa rendah diri yang muncul dalam dirinya membuatnya tersesat hingga menyentuh obat-obatan terlarang. Namun, meskipun memiliki latar belakang seperti ini, saat masih muda ia sudah memiliki kemampuan berpidato yang mumpuni dan kini menjadi presiden yang diakui sebagai orator ternama. (hal. 21)

 

Di dalam ceritanya, Oh Su Hyang juga menyelipkan tips-tips sederhana untuk membantu kita berlatih. Mulai dari latihan teknis sampai penguatan motivasi sehingga kita bisa lebih percaya diri. Tidak hanya sebatas mengenai kemampuan public speaking, beliau juga banyak menyentuh seni berbicara dalam industri penjualan dan hubungan interpersonal. Di antaranya beliau menyinggung hubungan-hubungan yang kurang harmonis akibat buruknya komunikasi, “Banyak pasangan yang mengalami kurang berdialog lupa akan pentingnya teknik berbicara. Berpikir bahwa masalah tersebut akan teratasi dalam seketika dengan meluangkan cukup waktu dan situasi tertentu adalah anggapan yang salah. Sebab dialog tidak akan mengalir dengan semudah itu. (hal. 53)” Di bagian lain, beliau pun menyerat bahwa seorang pembicara yang baik sesungguhnya merupakan pendengar yang baik. Apa yang dibicarakan tidak terlepas dari apa yang ia dengar.

 

Yang begitu menyentuh bagiku adalah Oh Su Hyang berhasil mengingatkan bahwa kemampuan berbicara ini bukanlah bawaan lahir. Semua orang bisa mulai mempelajarinya kapan saja. Yaa, mungkin beberapa teman ada yang punya modal lebih dulu semisal kayak suara yang bagus atau penampilan yang wushhh. Tapi, kita semua bisa belajar mengembangkan seni berbicara ala kita. Persis katanya, “Ada yang maju lebih dulu dan ada yang tertinggal di belakang. Namun, jangan lupa bahwa urutan bisa berubah dengan usaha dan membuang kebiasaan (buruk). (hal. 145)”

 

Kerennya lagi, si penulis ini nggak pernah lho temen-temen yang namanya nyebut kalau seorang ahli bicara itu harus yang begini begitu atau semacamnya, punya suara begini begitu. Bahkan, beliau malah menyuguhkan banyak contoh tokoh publik dengan ragam cara bicara yang berbeda. Bagiku, ini juga membantu pembaca menemukan kira-kira gambaran tokoh mana yang cara bicaranya bisa dirasa ‘aku banget!’.

 

Meski begitu, bagi kita pembaca buku ini mungkin belum bisa optimal menangkap seluruh isi buku secara mendalam karena ini merupakan buku terjemahan. Mungkin kita bisa memahami arti kalimat-kalimatnya, namun kurang mampu membaca konteks kalimatnya sebab sebagian berlatar acara atau pertunjukan di Korea. Selain itu, sebagian contoh juga merupakan tokoh pembawa acara atau drama Korea sehingga tidak semuanya bisa akrab di telinga.

 

Pada akhirnya, tetap harus diakui, aku merasa banyak belajar. Buku ini menyadarkanku bahwa ternyata kemampuan bicara kita masih bisa diperbaiki. Perkara dulu pernah salah ngomong, salah ucap, malunya nggak ketulungan, tapi ternyata kita masih punya kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kita. Semua salah-salah itu adalah bagian dari seni. Mungkin buat kita yang mau belajar banyak soal berkomunikasi, buku ini jadi salah satu pilihan yang menarik.

 

Yogyakarta, 14 Dzulhijah 1440