“Allah, sabar!
          Aku menggerutu ketika bus yang kami tunggangi tak memenuhi harapku tuk berhenti di halte tujuan kami. Bapak tukang jaga pintu bus menyeru ke arahku, “Itu lho mbak, haltenya penuh. Berhenti aja di halte depan!”
          Jika memang turun di halte depan, aku dan adikku pastinya mengambil langkah yang lebih agar mencapai rumah. Ya, tapi apa mau dikata? Batin mengasah sabar sambil menggenggam erat tubuh adik yang ada di pangkuanku. Di sekelilingku orang-orang yang bergumam kesal sibuk menahan goncangan pada bus akibat jalan ribut di antara rintik hujan.
          Tidak begitu lama berikutnya, bus berhadapan dengan halte yang sudah kuharapkan. Bergegas kujulurkan jemariku untuk meraih tangan adikku lalu kami menyusup ke dalam ruang yang penuh sesak. Tadinya aku harap cemas menunggu hujan sedikit reda, namun sayangnya menunggu cuma wacana. Pada akhirnya ketidaksabaranku memaksaku untuk berani menerobos rintik hujan bersama adikku.
          Kami sempat melewati trotoar licin juga menyebrangi jalan ramai yang basah tanpa asap kendaraan. Pada suatu waktu di tengah langkah lari, air-air yang ingin mengerubung tubuh kami semakin deras, sampai di sebuah plataran supermarket kami menyusup untuk berteduh.
          Aku menempatkan badanku pada undakan di samping pintu supermarket, adikku sergap mengikutinya. Kami sama-sama memandangi hujan dan langit di seberang mata.

          Belakangan kusadari bahwa di undakan itu, bukan hanya kami berdua.
          Sekitar dua atau tiga meter di sisi sampingku yang lain, tepatnya di hadapan tong sampah, ada bocah laki-laki yang jika kupantau sekilas boleh jadi seumuranku lebih kecil lagi. Aku menyikut adikku, memintanya memandangi laku bocah itu, kalbuku berbisik menilai, aneh.
          Ia tak seperti anak biasanya. Waktu itu jemari tangan kanannya sibuk menjumputi nasi bungkus dengan memainkan sendoknya, lalu dimasukkan ke mulutnya yang menari-nari seolah ada musik yang mengiringinya bergerak. Cara ia menyuapkan tiap makanan layaknya belum pernah menyentuh alat makan. Ia duduk dengan kedua kakinya ditekuk ke arah belakang seraya digoyang-goyangkan.
          Ketika kuperhatikan, aku menyadari ada berbagai jenis makanan dan minuman khas supermarket di dekatnya. Tuhan, aku paham, jajanan itu ia dapatkan dari tong sampah, tentu saja itu makanan basi, bagaimana aku tak menyadarinya. Sungguh miris.
          Kemudian tidak jauh dari tempat kami berada, terdapat sebuah gerobak nasi uduk lengkap beserta penjual dan alat bahannya. Sepertinya sang penjual sedang sibuk memberesi dagangannya. Kini aku yakin bahwa nasi bungkus anak itu juga berasal dari penjual nasi uduk.
          Si anak aneh menyunggingkan senyum saat aku tersenyum padanya.
          Aku dapat melihat wajah kosong yang berharap terisi warna.
          Di antara kami bertiga, bocah-bocah yang berpulang sekolah sedang bermain di seberang jalan, mereka berlari sambil menyoraki si anak aneh, “Yoga jelek, Yoga jelek!” Oh, namanya Yoga. Kupandangi Yoga dengan bayangan kesedihan, ia beri rupa yang seolah tak paham olokan anak-anak lain. Ia kembali tersenyum ke arahku.
          “Kok sendirian?” bibirku ragu bertanya.
          Nampak raut tak paham pada mukanya, aku hanya tersenyum dalam pedih memahami bahwa ia tak mampu berkomunikasi. Kuungkap luluhnya hatiku pada adik di sampingku, kusampaikan harapku agar nanti ia tak mengolok kawannya, agar ia mampu mengulurkan tangan pada banyak jiwa yang membutuhkan.

          Percikan hujan di antara kami terasa membisu.
          Langit sudah mulai menghapus luka-lukanya, kini air hanya tinggal tetes. Sehingga aku dan adikku meyakinkan diri untuk meluncur kembali di jalan pulang. Aku sempat memberi ukiran senyum sepenuh hati untuk sepasang mata Yoga.

          Di antara hawa pilu yang masih menyergap perasaanku, sepertinya malaikat kebaikan menyusup dalam bentuk keragu-raguan untuk berjalan.
          Ada yang salah dengan langkahku, ada yang menggajali pikiranku. Bagaimana aku mampu meninggalkan apa yang membuatku merasa merana tanpa mengindahkannya? Untuk tujuan tahu sajakah Allah swt menghadapkanku pada Yoga? Tidak, ini seharusnya bukan cuma untuk melihat, “Tunggu, Dik.” Aku meminta adikku untuk berhenti.
          Aku menyobek sebagian kertas yang aku miliki, menugaskan jemariku menyusunnya dengan lihai dan menjadikannya sebuah origami burung. Kata orang Jepang ini untuk melambangkan good luck (Semoga sukses), aku memutuskan ini menjadi awal yang baik untuk aku mengulurkan tanganku pada manusia seperti Yoga.
          Aku dan adikku melangkah kembali kepada si anak kurang mental, dan memberinya origami burung sebagai tanda dukunganku pada harapan matanya yang suatu saat semoga akan terisi tanpa kekosongan. Good luck, kalian.