Actually, there are some topics that I want to tell you this moment. I was really thankful yesterday because there was a new hope that Allah has given to me just now. Huh, bismillah.

Before it, aku ingin bernostalgia.

Beberapa tahun yang lalu, tepatnya saat aku masih duduk di bangku SMP, Babeku pernah mendapatkan sebuah pesan singkat yang tidak lain dan tidak bukan berasal dari putrinya sendiri.

“Selamat. Anak anda berhasil terpilih menjadi Ketua OSIS.”

Sejujurnya aku tidak berniat sombong atau pamer kepada Babeku. Yang aku mau, Babeku bangga. Kira-kira begitu.

Namun kemudian di timeline Facebook (saat itu aku masih sering mengintip layar sosial media yang satu ini), Babeku membuat sebuah postingan yang menggelitik sanubariku. Kurang lebih begini kata-katanya.

“Muncul sebuah pesan . . . (ditulisnya SMS dariku tadi) Namun, bukankah ini kurang tepat untuk di-selamat-i? Bukankah lebih tepatnya lagi didoakan supaya dapat mengemban amanah dengan baik dan bertanggungjawab?”

Ini mencipta rasa-rasa yang janggal. Tadi sebelumnya aku merasa senang dan agaknya cukup bangga (semoga bukan ujub ya), namun kemudian postingan facebook itu seperti sebuah adegan di film layar lebar.

Seolah Babe mengukuhkan pundakku. Ia menatapku lamat-lamat, berusaha memantapkan kalbu dan meyakinkan betapa ini amanah yang perlu aku pegang baik-baik. Aku mengangguk.

Inilah dia konsekuensi. Konsekuensi dari sebuah keputusan. Aku ambil amanah ini, ya sudah konsekuensinya ini beban yang harus daku tanggung.

A few days a go, I have dicided something. And yesterday my decision was accepted. Alhamdulillah, I’ve been announced to be a new student in English Departement of Gadjah Mada University.

I don’t know how my future will be. But I know, there will be a consequency for this decision. Bismillah.