Anak-anak. Bocil, alias bocah kecil. Kalau melihat tampangnya iya sih menggemaskan. Berbagai picture yang tersebar di media sosial menunjukkan wajah-wajah lucu dan unyu yang dimiliki oleh bocah-bocah kecil.

Mmmm. Tapi nih, meskipun lucu dan menggemaskan, yakin deh pasti kalau udah ketemu dan disuruh ngatur… banyak yang cuma geleng-geleng minta ampun. Allohumma! Hohoho! Tenang, tenang. Bagi teman-teman yang punya pengalaman begitu, kalian nggak sendirian kok. Karena diriku pun merasakan. Muehehe. Kacau balau menghadapi bocil-bocil dengan kelakuan tidak karuan.

Okey, curahan hati ini adalah mengenai persiapan takbiran di Tarawehan Anak-anak RW 09 Kadipaten. Bismillah ya, semoga tabah menyimak jlentrehan kalimatku (dan berkah).

To the point, ya sahabat hebat.

Di kampungku, kami berbeda dari lokasi tarawehan-tarawehan lain yang berkesempatan untuk menyemarakkan lomba takbiran. Huhuhu. Sebab memang krisis bocil (habisnya banyak embak-embak yang diboyong suaminya keluar kampung, merantau entah kemana), jadilah tiada berani kami mengajukan diri turut serta ikut lomba takbiran. Ehehehe.

Tapi, meskipun nggak ada lomba-lombaan. Tiada ingin kami kalah dalam meramaikan malam takbiran.

Maskot (ting) tetap dipersiapkan sekeren mungkin. Adik-adik tetap didorong supaya semangat untuk bertakbir. Balon-balon dipakaikan ke kepala para bocil menggantikan obor atau oncor yang belum sempat kami persiapkan. Ughhhh. Juga, tentunya acara indoor berupa pentas sederhana dan bagi hadiah dilaksanakan.

Yuhuuu! Itulah yang akan aku bahas mencolok di sini. Pengalaman menyiapkan acara pentas indoor anak-anak itulah yang bismillah semoga bisa kubagi pengalamannya denganmu, sahabat-sahabat hebat. Jangan dipikir pentas besar dengan panggung atau apa ya. Ihihi. Apalah kami yang hanya panitia sederhana dan mengandalkan apa adanya.

Sebelumnya biar kuungkap kisah di tahun-tahun sebelumnya ya. Bahwa aku tidak secara intensif turut menyiapkan pementasan anak-anak. Biasanya yang memang mengambil andil besar adalah si kembar paling kece ber-ide, Yudha dan Yudhi. Mereka begitu kreatifnya menyusun persiapan pementasan. Pernah digelar drama musikal laskar pelangi, tarian, nyanyian, dsb. Sangat luar biasa pokoknya. Itu terjadi beberapa tahun belakangan.

Waktu berlalu cepat hingga duo kembar ini agaknya mulai sibuk dengan kuliah dan karier. Ughhh. Berasa apa ya aku menulis ini. Ehehe. Yudha dan Yudhi emang sudah beberapa tingkat di atasku. So, sibuknya kita sudah beda. Pas aku mikir sekolah, mereka mikir kuliah. And this time, ketika aku siap mikir kuliah, mereka beranjak memikirkan dunia kerja. Bukan cuma duo kembar sih, muehehe, beberapa yang lain pun juga. Sebagian besar malah. Termasuk Mas Octa, ketua muda-mudi kebetulan.

Tersisalah aku dan teman sebayaku, juga para anak baru gedhe lulusan esempe. Pada kesempatan inilah kami yang betul-betul diharapkan mampu mengerjakannya.

Padahal oh padahal aku tiada paham soal membuat sebuah pementasan. Aku merasa (selama ini) nggak cocok jadi sutradara, guru tari atau musik, atau apalah itu yang menjadi lakon pelatih pementasan. Haduuuuh. Mana para “anak baru gedhe lulusan esempe” yang aku harap-harap bisa membantu pun sebenarnya aku juga agak ragu pada mereka. Omooo.

What must we do?

Mau menampilkan apa? Bocil mana yang akan diminta tampil? Gimana ngaturnya?

Akhirnya, niat pertama adalah mengadakan fashion show muslimah. Gampang aja kebayangnya. Oh. Oke. Gini. Gitu. Gampanglah. Sip. Tinggal jalan. Aku langsung berpikir mengajak Fifi (sohib yang kebetulan agak sebaya denganku) untuk meminta Nabila, Arline, dan Mayang tampil. Bocil-bocil akhwat yang kami harap mau tampil mengisi acara takbiran. Kupikir mereka bukan bocil yang kekecilan dan kegedean. Nggak kekecilan, biar gampang diaturnya. Nggak kegedean, biar nggak aneh dilihatnya. Sengaja akhwat; cewek, biar gampang diajaknya dengan iming-iming “tampil”. Ehehe. Kalau ikhwan; cowok, mah, boro-boro disuruh tampil. Di-cie-in temennya aja udah kabur karena malu diejekin. Hadeeeh.

Jadilah, dengan bekal bismillah aku dan Fifi ngajak 3 bocil idaman itu. And so alhamdulillah, mereka sangat antusias. And more alhamdulillah, ketika para “anak baru gedhe lulusan esempe” juga girang membantu latihan. Ada Sofia, Nia, Yola, juga Meri dan Nisa beberapa waktu. Biar kukatakan, persiapan untuk pementasan ini dilakukan sehari sebelum acara takbiran. Ughhh. Memang sesuatu yang mengerikan.

Dipikir-pikir sih, “Halah, cuma fashion show!” salah banget deh kalau menyepelekan. Karena kenyataannya, memang, semua perjuangan itu berat. Berat borrrr!!!

Niat awal yang maunya fashion show akhirnya diputuskan untuk diberi tambahan tarian sederhana. Supaya nggak membosankan. Duhhh. Guru-gurunya, pelatihnya, aku dan teman-teman, malah ribut kebingungan mengaturnya dan menentukan gerakan. Gimana eh? Eh. Aneh nggak? Gimana nih? Ewh, banget. Nah yang dilatih jadi geger nggak karuan. Ikut-ikut kebingungan. Gimana tho Mbak? Males ah! Ya Allah! Gimanaaaaaa????

Kacau balau!

Mana lagi, adiknya Nabila yang masih kecil upil unyu banget, Yona namanya, ikut-ikut latihan plus sekali dua kali membuat kekacauan kala mulai penampilan. Aku antara mau ketawa melihatnya dan geregetan karena latihan terasa tidak membuahkan hasil memuaskan.

Honestly, diriku bukan tipikal manusia yang suka marah atau membentak. Kalau sebal, yaudah abai seadanya. Tapi, di sini sebalnya berulang kali sampai gagal paham lagi harus abai dan tetap tersenyum terus setiap kali. Menurutku, bocil-bocil itu nggak serius berlatih. Tapi semakin kubiarkan dan malah kutertawakan, makin jadilah kelakuannya. Allohumma!

Sekarang kupastikan, “Yona, kamu mau tampil enggak waktu takbiran?”

Aku membiarkan dia memilih. Kalau mau, ya latihan. Kalau enggak, ya jangan menggusarkan. Hohoho. Akhirnya dia geleng. Nggak mau tampil di hari H, tapi mau ikut-ikut latihan. Yakduh. Nggak tahan aku sama wajah unyunya, akhirnya sanubariku me-monggo-kan. Aku bolehkan. Asal jangan ganggu dan waktu hari H takbiran, biarlah dia aku pangku. Yona ngangguk. Alhamdulillah, sip, mantap.

Mayang. Bocil satu ini aset besar untuk penampilan besok malam. Dia udah biasa fashion show dan juga memang ikut latihan menari di sanggar (meskipun sekadar katanya). Tapi apa salahnya percaya? Seenggaknya fakta itu melegakan dan mencipta rasa optimis padaku. Hanya sayangnya si kecil manis ini anaknya sedikit semaunya sendiri, agak sok tau jadi kalau dikasih tau harus sambil geregetan dan gemas-gemas dulu. Ealah, sabar. Termasuk percaya dirinya yang tinggi sehingga kadang ingin tampak “lebih” mencolok dibanding teman lainnya. Tapi aku menghargainya, ini adalah proses kedewasaan. Dalam memoriku, aku pun pernah berlaku begitu, jadi kenapa ada bocil yang seperti itu malah aku persalahkan? Semoga dia semakin bisa menempatkan diri dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi, I wish.

Arline. Untuk gadis embul dan cantik ini, aku pun nggak ragu. Ibunya adalah pelatih tari anak-anak yang sering dipercaya kampung ngajarin pentas acara 17-an. Nah, Arline, putrinya ini, cukup mewarisi kemampuan tari ibunya. Aku bahkan senang sekali karena dalam penilaianku dia begitu menghafal gerakan dan hitungan yang sudah embak-embak pengajar tentukan. Mantap memang! Dalam pandanganku, dia banyak menyadari kekeliruan teman-temannya ketika tampil. Maka sangat kusyukuri karena berhasil menunjuknya menjadi central dalam penampilan ini. Meskipun kadang aku tidak enak karena ia tipe anak yang agak malu-malu dan nggak enakan kalau mengingatkan temannya. So, jadilah kadang-kadang dia cuma memberi isyarat padaku kalau seorang temannya melakukan kekeliruan. Tapi nggak apa, sekali lagi, ini proses pendewasaan.

Nabila. Nabila oh, Nabila, adikku. Semoga kecup jauhku membuahkan doa padamu. Nabila adalah gadis kecil yang dari awal aku berusaha untuk tetap menggenggamnya supaya bertahan. Susah. Payah. Semangatnya naik turun. Meskipun aku tahu dia sangat ingin tampil. Rasa antusiasnya begitu gemerlap aku tangkap. Hmmmm. Kenapa aku bilang semangatnya naik turun? Yeah, dia emang bocil yang paling sering mutung dengan bilang, “Aku nggak mau tampil.” hingga aku untuk keberapa kalinya entahlah terus membesarkan hatinya biar tetap teguh. Ya Allah. Bahkan aku sampai sempat kelelahan membimbingnya! Bayangkan! Ketika sehari penuh latihan mengeluarkan peluh hingga aku jenuh, pada menit-menit akhir, Nabila lagi-lagi berseru, “Aku nggak mau tampil!”

Bukan tanpa alasan. Aku menghela napas dalam mendengar itu. Andai kalian tahu. Itu dimulai ketika aku satu demi satu menata hijab mereka, dan tanpa berpikir panjang ketika Nabila dan Arline berseru-seru berebutan ingin menjadi yang lebih dulu aku percantik, aku langsung menarik Arline lebih awal. Mengabaikan Nabila. Hei, ini karena aku buru-buru. Okay?

Tanpa sadar aku telah melukai hati bocah kecil itu. Dia diam. Aku abai. Aku fokus di hadapan kerudung Arline. Memasang peniti di sana-sini. Sampai kalimat itu muncul dari bibir Nabila. Aku mendengus kesal. Seriously? Di menit-menit akhir dia tega mengatakan itu? Aku capek, Bil! Dadaku sesak menahan kalimat itu muncul. Akhirnya aku menghela napas berat.

“Udah, sekarang Mbak Wardah terserah, Mbak Wardah manut aja,” kukatakan tanpa memandanginya. Dengan nada (yang begitu kusesali karena entah bagaimana bisa keluar begitu saja dari mulutku) yang terdengar mengerikan. Aku lelah. “Gimana? Tampil nggak?”

Diam. Nggak ada sahutan. Sampai akhirnya aku mendengar sesuatu yang memilukan. Mencekikku.

Tangisan.

Wardah! Allohumma! Kamu ngapain? Kamu ngapain sampai bocil ini nangis sesenggukan? Kamu bilang apa?

Terlepas jemariku menata kerudung Arline. Aku bergegas menggapai Nabila. Menyesal atas rasa mengkal yang kurang ajar menguasai perkataanku sebelumnya. Nada bicaraku tadi memang kubayang-bayang terdengar menyedihkan bagi gadis seperti Nabila. Ya Allah, ampuni.

“Bil, maaf, Mbak Wardah tadi milih Arline duluan kamu jadi marah ya,” aku mengusahakan kata-kata terteduh sampai padanya. “Sekarang, serius Mbak Wardah nggak maksa. Mbak Wardah nggak mau Nabila sedih. Nabila mau tampil apa nggak itu terserah Nabila ya.”

Dengan nada yang berbeda. Lebih alus. Lebih berbahasa anak-anak.

“Semuanya sayang Nabila. Arline sama Mayang pengen juga Nabila tampil kok. Semuanya sayang Nabila, oke?”

Aku tahu sebelumnya kalimatku salah terlemparkan. Kini biarlah hasilnya Nabila yang menentukan. Tanpa kupaksa. Meskipun kurayu (hehe).

Berselang lama hingga akhirnya dia kembali mengangguk mantap. Sebenarnya aku ragu dia enggan tampil. Sudah kubilang dia antusias untuk mengikuti latihan. Jadi, sangat eman-eman kan membayangkan dia tidak melanjutkan sampai akhir. Hehe. Alhamdulillah. Okaaaay, gadis-gadis kebanggaanku ini siap tampil.

Oh iya, sebelum beranjak malam dan sampai pada penampilan. Biarlah aku sampaikan bahwa ada anak gadis lain yang muncul di sore hari sebelum pementasan. Salika, namanya. Saudara dari salah seorang warga kampung kami. Begitu percaya diri, sok kenal banget, dan begitu antusias ikut tampil. Tapi oh sangat tapi beribu maaf untuk Salika adikku, Mbak Wardah belum berani menukar konsep pementasan 3 gadis (yang sudah latihan dari kemarin dan siap tampil nanti malam) demi dirimu yang baru muncul beberapa jam sebelum penampilan. Aku tahu ini jahat. Kejam. Atau apalah terserah. Tapi itu ujian. Dan aku harus membuat keputusan terbaik untuk banyak orang. Dan itu yang aku pilih. Maaf, Salika, semoga semangatmu lain kali bisa Mbak Wardah wadahi.

“Aku pakai baju apa ya Mbak?”

“Hehehe, aku malu nih kalau maju!”

“Nggak apa-apa ding, aku siap kok!”

Itu seruan Salika yang sedih sekali harus aku abaikan di beberapa momen. Semoga kamu jadi anak sholehah sayangku! Satu hal lagi yang membuat aku gereget dengan bocah ini, nanti aku kisahkan di akhir ya.

Okaaay. Jeng jeng jeng. Walhasil Nabila, Arline, dan Mayang tampil dengan baju batik terbaik mereka. Juga kerudung ala-ala yang tidak maksimal aku kreasikan (karena waktu yang mepet, pun aku sudah lama tidak bermain-main dengan hijab begitu, ehehe). Penampilan mereka pun kukolaborasikan dengan penampilan Mbak Nurul yang mempertontonkan prosesi pembuatan batik. Usai itu, baru dilanjutkan fashion show muslimah.

Alhamdulillah. Sukses!

Sebagai apresiasi, aku bawakan kue-kue kecil untuk mereka. Empat biji jumlahnya. Untuk Nabila, Arline, Mayang, juga Yona yang selama latihan sudah berbaik hati menemani kakaknya. Eh. Waktu aku mau mengumpulkan mereka ba’da pulang, si Salika ikut-ikutan. Duh. Ya Allah. Mana kuenya cuma empat doang. Finally waktu kumpul sama anak-anak, aku cuma bentar menyampaikan terima kasih dan semoga sukses seadanya.

Kue-kue itu kubagikan di jalan pulang supaya tidak tertangkap basah Salika. Ughhh. Kelakuanku ya Allah.

Bismillah semoga berkah lah ya. Ehehehe. Yang jelas Ramadhan ini benar-benar memberikanku banyak pelajaran. Semoga mampu meningkatkan kualitas diriku. Aamiin. Tapi lebih dari itu, Ramadhan ini memperkenanku untuk lebih dalam mengenali siapa dan bagaimana bocil-bocil di sekitarku sebenarnya.

Hey, kids, let me understand more about you! I dont want to give up, whenever! See!😏😏

In this long night
Yogyakarta, 6 Syawal 1438