Kisah ini merupakan pengalaman seseorang yang ingin aku tulis kembali kerana ketika diperdengarkan padaku, entah bagaimana aku merasa ada di sana, di tempatnya. Inilah ceritanya; sebagai aku.

http://www.kabarmuslimah.com/4-cara-berjilbab-yang-tidak-baik-dan-malah-cenderung-dosa/

          Pertanyaan pertama sebelum kumulai curahan hatiku ialah kepadamu wahai gadis-gadis, perempuan di desa juga kota, para wanita, baik tua maupun muda, seluruh manusia yang merasa dirinya cantik; apakah yang paling berharga bagimu?
          Kadang sebelum ada pertanyaan, kita tidak perlu memberi jawaban, bahkan mungkin belum pernah ada jawaban. Sepertiku. Aku tidak pernah memutuskan bahkan memikirkan secara pasti “apa yang paling berharga bagimu?” sekalipun. Kalian juga? Saranku, segeralah putuskan. Seperti layaknya kematian, kita tidak akan tahu cerita bagaimana “barang berharga” itu sewaktu-waktu hilang, tiba-tiba sudah direnggut dari kita, dan meninggalkan luka penyesalan.

          Sore itu tetap seperti biasanya, dan selalu biasanya aku kembali dari sekolah terlambat. Sebenarnya tidak juga, toh aku pulang masih jam 4 kurang dan sekolah ditutup pukul 16.00 tepat. Meskipun bisa dibilang aku termasuk yang paling akhir keluar. Entah apa saja aktivitasku seharian ini hingga penat dalam raga histeris tak karuan. Oleh karenanya, aku ingin cepat pulang. Selanjutnya aku menuju halte bus dengan berjalan kaki, memaksakan diriku untuk bisa menikmati jalanan yang bisa dibilang sesak dengan asap kendaraan dan kebisingan mesin.
          Hal yang paling membuat sebal kemudian adalah penantian bus yang cukup untuk dibilang sangat lama. Bus yang biasanya aku tumpangi memang sering banyak kendala. Jalurnya melalui tempat-tempat ramai sehingga sering macet di jalan, juga sebab itu pula banyak penumpang yang berebutan ingin menumpanginya. Jadilah bus itu pergi meninggalkanku sendiri dengan seragam SMA lusuh yang tidak bisa berkibar diterpa angin karena cukup pas pula membalut tubuh kecilku.
          Sebenarnya ada cara lain untuk mengatasi masalah tersebut. Yaitu berganti jalur.
          Ada bus jalur berbeda yang sebetulnya bisa membawaku sampai ke rumah. Namun sayangnya aku perlu mengambil jalan yang lebih panjang untuk mencapainya, jelas butuh waktu lama dan aku tidak suka. Namun yang lebih sayang lagi adalah busku tetap saja tidak mau pengertian, berjam-jam kutunggu dan berjam-jam pula aku beri kutukan. Tenang saja, kutukanku itu kutukan gadis sholehah, jadi jangan salah paham, aku bukan ibu Malin Kundang.
          Sedangkan, di samping itu bus jalur “panjang dan memakan waktu” itu terus saja lewat dan memperlihatkan betapa luang ruang di dalamnya. Kursi-kursi kosong yang hangat di dalam hanya bisa kupandang berlalu. Hingga suatu ketika tak lagi mampu kutahan saat kesekian kalinya bus itu menyuguhkan kesempatan padaku, langsung saja kugapai pintu dan masuk di dalamnya. Dalam benakku, “Kalau lama, setidaknya aku bisa tidur sejenak menghilangkan lelahku.”
          Benar saja, aku bisa istirahat. Suasana tenang dan tidak banyak kegaduhan. Mungkin ada sekitar 3 atau 4 orang di dalam sana. Bus meluncur dengan sangat hikmat.
          Entahlah, kalau di hari lain mungkin aku kurang senang dengan kebiasaanku yang mudah terganggu dengan hal-hal sepele, apalagi ketika sedang beristirahat. Sedangkan sore itu rasanya berbeda. Bagaimanapun aku merasa amat bersyukur.
          Tepat di sampingku duduk seorang bapak yang cukup tua.
          Bolehlah aku jujur?
          Dia bau. Bajunya kumal. Jorok. Ih. Sungguh, aku ingin pergi. Tapi aku bukan tipikal orang seperti itu. Tidak biasanya aku akan memperlihatkan ketidaknyamananku pada seseorang. Tidak sekalipun. Begitupun ketika itu aku memilih tenang dan tidak banyak polah.
          Hal yang membuatku tidak nyaman selanjutnya adalah melihat betapa luangnya tempat lain di bus ini. Kenyataannya bus itu masih menyimpan banyak kursi kosong lain selain yang ada di sampingku. Aku betul-betul berharap bapak di sampingku dapat memikirkan itu pula dan seketika bergeser sedikit atau melakukan hal lain untuk mengurangi beban batinku. Tetapi angan tetaplah angan. Aku juga tidak suka cara orang tua itu duduk mendempetku, merasa seolah dia sengaja ingin.. ah, bukan apa-apa.
          Mmm. Huah.
          Tangannya ke sana kemari berulah. Ke bagian kursi sana sini, seperti mencari posisi nyaman yang sebenarnya lebih cenderung ke jail. Entahlah, itu hipotesisku. Jujur saja aku tidak nyaman. Meskipun tidak ada suatupun yang berarti, tapi aku merasa tidak nyaman, sangat tidak nyaman. Sayangnya ketidaknyamanan ini terus berujung pada diam. Karena beginilah aku, merasa bahwa bisa jadi menyakiti perasaan si tua itu kalau menghindarinya atau bagaimana. Maka aku hanya sampai memutuskan mengubah raut mukaku menjadi benar-benar sadis dan mematikan, juga membuat kepalan tangan yang aku harap bisa meruntuhkan sedikit atau aku harap seluruh niat buruknya padaku.
          Sayangnya tidak berguna, tetap saja seperti itu.
          Yang aku tahu ini adalah rasa takut dan panik, entah dari mana munculnya juga karena apa. Hingga ketika kekacauan kedua perasaan ini telah sampai puncaknya mengepul dalam kalbuku, aku merasa “Aku tidak peduli dan aku tidak tahan lagi!”. Seketika aku berdiri dan mengambil posisi duduk di seberang lelaki itu, mengambil ekspresi wajah paling horor melebihi film pocong terhoror sekalipun.
          Di sana, 3 atau 4 orang lainnya terasa tidak ada. Di sana, aku merasa hanya ada aku dan bapak itu dengan seember air yang dibawanya, sedangkan aku berusaha mempertahankan sebatang korek api yang menyala lemah. Aku ketakutan.
          Matanya terus mengikuti pergerakanku dan sungguh aku tidak peduli lagi. Tapi polahnya sudah tidak lagi terasa aneh seperti tadi, mungkin dia hampir menyerah. Aku membuang muka darinya. Dalam benakku “membuang muka” yang aku lakukan adalah wujud sederhana dari sumpah serapah dan kutukan bukan dari anak sholehah. Pada titik itu aku benar-benar tidak peduli apakah dia orang tua atau bukan, apakah aku harus menghormatinya, apakah dia pantas diberikan kesopanan, yang jelas dia adalah pria yang melampaui batas. Itu bejat. Dengan segala rasa yang meluap di dadaku, tanpa kusadari kata itu muncul di kepalaku menghujamkan tubuhnya di seantero pikiran.
          “Aku ingin pulang! Aku ingin menjauh darinya!” hatiku berdeburan.
          Mungkin dari sana tekanan itu lahir menguras banyak air di sana yang kemudian membangun kaca-kaca di mataku ketika aku berhasil keluar bus. Orang-orang penghuni halte tentu saja juga tidak peduli padaku, seperti apa yang akan aku bayangkan ketika di dalam sana tadi. Ketika aku keluar, akan ada kelegaan yang artinya rasa takutku akan pelan-pelan menyusut.
          Di tengah kecamuk marah itu aku memberanikan diri menceritakan kisahku ke penjaga halte. Sayangnya kata tak sepenuhnya berwujud bulat ketika sampai di ujung mulutku. Meskipun tiada yang terjadi padaku, tiada hal berarti yang membuatku jadi direndahkan, tetapi tetap saja aku merasa kisah ini memalukan sehingga tak mampu kuungkap segalanya. Ketika itu aku yakin mataku berkaca-kaca hingga sampai di pintu rumah.

          Ada banyak hal yang sebenarnya ingin aku jaga. Begitupun dengan ini sebagai salah satu yang paling berharga; keberadaanku sebagai seorang perempuan. Kehormatanku, kesucianku, semua itu. Aku ingin menjaganya.
          Sore itu, meskipun aku tidak kehilangan apapun, tetapi aku bisa merasakan betapa takutnya dan khawatirnya diriku ketika hampir kehilangannya. Jika aku saja yang hampir kehilangan sudah seperti ini, lalu bagaimana dengan kawanku yang lain.. yang kemungkinan mereka sudah tak dapat lagi memilikinya? Dalam pengalaman sebentar ini, bisa kubayangkan betapa kerasnya perjuangan para perempuan di masa lalu yang banyak bertemu dengan ketidakadilan dan penganiayaan. Juga beberapa kisah mengerikan di masa sekarang. Untuk itu aku bersyukur.
          Semoga kita bisa saling menjaga “apa yang paling berharga bagi kita?”.

          Bagi perempuan, ceritanyalah yang mampu menjadi salah satu gambaran pasti mengenai menakutkannya kehilangan “barang berharga” tersebut. Sekali lagi, mengingatkan seperti apa yang dia katakan, putuskanlah mana yang berharga bagimu.