Sosok ini selalu membersamaiku belakangan. Seorang Penjaga yang juga perlu aku jaga, muehehe.

Suatu saat besar sekali keinginanku menumpahkan rasa sebal lewat raut wajah yang mengundang mengkal. Atau nada sinis di dalam kata-kata teruntuk pribadi yang menjengkelkan. Atau bahkan jemari yang tidak dalam kontrol lantas berlaku keterlaluan. Eh, hehe, tapi, baru sebentar langkah itu melesat di pikiran, ternyata sosok Penjaga itu buru-buru datang menghadang. Tanpa memberi aba-aba, ia memelukku dari belakang, menahanku untuk berjalan. Cepat, tapi perlahan. Kuat, tapi melenakan.

“Jangan!” bisikannya seketika merangkul segala keinginan. Aku patuhi ia, terbatalkanlah niat-niat buruk yang ingin kulakukan. Oh, si Penjaga yang juga perlu kujaga.

Pada kesempatan lain, ketika orang-orang mendamba bantuan, berat sekali hati tergerak memberi dukungan. Orang mengangkat tangan dan menunggu balasan, tapi adakah keinginan untuk memberikan apa yang mereka harapkan? Ugh. Tapi sudah diniatkan, sedikit saja yang kuperbuat, biar orang lain melakukan sisanya-yang nyaris semuanya. Hal itu masih berada dalam pikiran, sebelum betul-betul dieksekusi, sosok Penjaga itu segera datang lagi. Ia genggam jemariku tanpa kode-kode, dirapatkannya lima sela jari tanganku dengan miliknya.

“Lihat!” diarahkannya pandanganku menatap orang-orang yang merintih itu. Seketika genggamannya mengencang dan menarikku riang memberi bantuan. Sekali lagi, tanpa alasan yang terjelaskan, aku lulus pada sosok itu.

Ia tidak pernah pergi. Dalam sepiku ketika tiada teman mengajak berbincang, tugas-tugas kampus yang mengundang geregetan, aksi-aksi yang memanaskan spirit, aku hanya memilih menghabiskan waktu bersama bantal dan guling. Dalam sepiku, bersantai adalah keputusan terbijak. Dalam sepiku, ber-leyeh-leyeh adalah keputusan terbaik. Uwww, rasanya pasti menyenangkan. Awww, tiba-tiba menyakitkan! Ternyata sosok itu langsung saja mencubit pipi kananku tanpa bilang-bilang. Segera dilanjutkan dengan cubitan di pipi kiriku. Bagus, sekarang pipiku ditarik ke kanan-kiri hingga timbul senyum yang dipaksakan.

“Bangkit!” bersamaan dengan senyumnya yang mengembang seperti popcorn caramel, manis dan renyah. Tidak banyak yang ia katakan setelahnya. Hanya lewat energi positif cubitan itu seketika ada tenaga yang mengisi sendi-sendi tubuhku yang sebelumnya layu. Tanpa kusadari, tubuhku sudah bangkit berdiri. Lihat kan, aku kembali mengikuti apa yang sosok ini minta padaku.

Aduhai, Penjagaku. Aduhai, Penjaga yang juga perlu kujaga. Kamu memang benar-benar menjaga diri ini dari apa-apa yang tidak baik diperbuat, kamu benar-benar menjauhkan dari hal-hal yang tidak tepat.

Oh. Wahai, Penjagaku. Orang-orang bertanya, “Siapa itu Penjagamu?”

Aduh, aku malu.

Tapi, pasti akan kusebutkan siapa kamu kepada mereka. Wahai, Penjagaku, yang juga harus kujaga. Penjagaku yang harus kupertahankan, setidaknya selama 30 hari ini. Penjagaku,  yang perlu kujaga supaya tidak terlewat aku mengisimu. Engkaulah Penjagaku, oh, Puasa Ramadhanku.

Yogyakarta, 11 Ramadhan 1439

KETERANGAN :
Tulisan ini diterbitkan edisi KORAN (Kontemplasi Ramadhan), silahkan menikmati dan menghujaninya dengan tanggapan demi membangun peningkatan 🙂