Di atas permukaan laut Wakatobi, seorang penyelam bersiap terjun ke dalam. Telah siap segala sesuatunya. Baju selam yang elastis, sepatu katak yang kuat, tabung gas yang akan membantunya menghirup napas, semuanya akan membantunya mencapai tujuan: menyelam.

Maka segeralah setelah dipastikan siap segala-galanya, ia mantapkan masuk. Ceburrr! Eh, bukan gitu bunyinya. Koreksi. Byurrrr!

Si penyelam menyusuri air laut yang jernih membiru. Dilihatnya kekuasaan Allah SWT yang digurat di dalamnya. Ikan-ikan indah yang berwarna-warni mengisi pandangannya. Pada kedalaman 10 meter, ada sesuatu yang mengejutkannya alias membuatnya terpana. Ada seorang lelaki lain yang melambaikan tangan padanya dan berhasil menyelam hanya mengenakan celana pendek saja! Luar biasa! pekik si penyelam dalam hati. Perenang yang luar biasa.

Tidak puas di kedalaman itu, berlanjut lagi ia untuk menyusuri yang lebih dalam. Dua puluh meter dicapainya. Lagi-lagi kekaguman itu tumbuh lagi. Lautan yang luar biasa indahnya terhampar di hadapan si penyelam. Pun, juga yang tiada kalah luar biasa, si laki-laki bercelanan pendek tadi juga ada di sana. “Luar biasa! Dia benar-benar penyelam yang hebat!” kata si penyelam ketika laki-laki tadi menatapnya sambil melambaikan tangan.

Tapi, perjalanan tetap mesti dilanjutkan. Kembali lagi ia melakukan aktivitas menuju ke kedalaman 30 meter. Suasana semakin mengundang rasa syukur dan kekaguman. Air yang berwarna biru bening dan ikan-ikan yang keindahannya membuat merinding. Pun, sekali lagi, lelaki itu kembali hadir bersama celana pendeknya. Masih ramah melambaikan tangan kepada si penyelam yang tiada habis dibuat terkagum-kagum. Sang penyelam mantap mendekat dan bercita ingin mengungkapkan kekagumannya, “Wahai saudaraku! Kamu adalah perenang paling hebat yang pernah kutemui!”

Dilanjutkannya, “Luar biasa 30 meter nggak pakek peralatan apa-apa!”

Si celana pendek dengan menggunakan seluruh tenaganya sampai merah mungkin wajahnya berteriak,

“WOYYYY AKU TENGGELEM, BUKAN NYELEM!”

Aduh, duh, duh, boi. Ternyata, sedari tadi melambaikan tangan itu untuk mohon bantuan. Kukira kau terlalu ramah pada lautan.

***

Cerita tersebut adalah apa yang terselip dalam buah karya Ustadz Salim A. Fillah “Jalan Cinta Para Pejuang” yang kutulis lagi dalam bahasaku sendiri. Beberapa kali cerita itu menuntunku berbagi kepada beberapa sahabat demi mengingatkan bahwa yang namanya tujuan perlu dicapai dengan kematangan persiapan. Kita tahu mau kemana tujuannya, jadi harus tahu juga apa yang perlu dan bagaimana ke sana.

Nah, sayangnya, ngomong itu gampang, bertindak itu demikian susahnya minta ditendang, hehe.

Ada sebuah penyesalan di hari ke-21 Ramadhan ini. Astaghfirullohal adzim, ampuni hamba Yang Maha Pengampun. Cita-cita besar yang diri gurat dalam kalbu ternyata belum sampai pada pencapaian. Bukan karena situasi dan kondisi yang tidak sejalan dengan keinginan, melainkan karena upaya yang dilakukan tidak sekeras apa yang dibayangkan.

Ramadhan ini sepenuh hati aku mengatakan di awal, “Secara total, hati, pikiran, dan tenaga di tahun ini insyaAllah mantap kusuguhkan pada kampungku tercinta, pada putra-putrinya, pada kegiatannya.” Tapi allohu akbar, sungguh hinanya aku yang cuma berseru-seru, tapi kenyataannya tidak ada usaha yang memburu.

Sedikit sekali, kecil sekali usaha selama ini.

“Maaf ya sahabat, aku ada agenda hari ini,” begitu kataku mengundurkan diri dari kehadiran di kegiatan Tarawehan Anak-anak kampung. Itu pun sesekali kalau baru ingat. Selebihnya banyak lupa hanya untuk menyampaikan izin dan kata maaf. Betapa aku ini sangat payah.

Katanya tahun ini, kampung jadi prioritas. Tapi ternyata ketika dua pilihan dihadapkan, kegiatan kampus aku dahulukan. Katanya tahun ini akan memberikan banyak kontribusi untuk tarawehan. Tapi kenyataannya, kumpul-kumpul yang sejatinya tidak terlalu memerlukan diriku pun aku hadiri, sedangkan kampung ah ya nanti.

Astaghfirullohal adzim. Dan, sore tadi sebelum waktu berbuka, Ustadz Anton yang mengisi sebuah kajian pelajar Jogja sempat menyinggungku begitu menusuk-nusuk ulu batin sampai rasanya napasku ingin kubiarkan habis saja karena sesak seketika.

“Berapa lama kamu menyiapkan Ramadhan tahun ini?

“Sedari kapan kamu menyiapkannya?

“Dua bulan? Sebulan? Seminggu? Atau, sehari?”

Bahkan mengatakan sehari saja rasanya kok ndak rela ya. Jauh-jauh hari sudah disadarkan oleh banyak kiriman yang bertuliskan H-sekian Ramadhan, tapi belum hadir gerakan demi mempersiapkan segala sesuatunya. Sedang betapa menyesalnya ketika Ustadz Anton memberikan sebuah kunci yang dari kemarin kucari-cari, tapi yah udah terlanjur kubobol pintu Ramadhan ini tanpa membukanya lewat prosedur yang seharusnya.

“Rajab menanam, Sya’ban mengairi, Ramadhan menuai”

Telah terlewat kesempatan-kesempatan untuk memenuhi kesemua itu. Kata Ustadz Anton lagi, “Ya itu untuk tahun depan.” Tapi sayangnya, siapa yang tahu? Akankah aku bertemu lagi dengan Ramadhan yang kemudian? Ramadhan 1440 Hijriyah yang sangat jauh di pandangan tapi entah bagaimana sangat terindukan.

Oh, Ya Allahku. Aku tahu akan memasuki samudra Ramadhan yang penuh pahala kebaikan beribu-ribu, tapi payahnya diri ini yang tidak mempersiapkan sepenuh hati. Pakaian renang tidak, sepatu katak tidak, tabung gas apalagi. MasyaAllah. Aku tenggelam terlalu dalam. Baiknya Engkau yang masih bersedia memberikan kebaikan pada akhir-akhir tahun ini.

Apa yang kudapat? Apa yang harus kuperbuat?

Diingatkan lagi oleh Ustadz Anton. Kalau sudah begini, ya cuma bisa pakai “jurus kepepet”. Apa itu? Hehe. Kata beliau, “Apapun yang bisa dilakukan, lakukan!”

Kesempatan-kesempatan sekecil dan semini apapun untuk makin mendekat pada-Nya, lakukan. Jangan sampai ketinggalan, jangan sampai kelewatan. Apapun! Lakukan! Ahimsa, jangan cuma berhenti di tulisan! Betulan, WOY! Kerjakan!

*bingung melanjutkan*

Yogyakarta, 22 Ramadhan 1439